Pondok Pesantren, sebagai suatu padepokan untuk
memperdalam ilmu agama, sejauh ini dipahami sebagai tempat yang sejuk,
tenang, dan damai. Di dalamnya para cantrik (santri) mencurahkan tenaga
dan pikiran untuk belajar dan membentuk karakter, sementara pengasuh
pesantren (kiai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk
memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang
tunggal dalam Pesantren, dia selalu sebagai panutan dan tauladan
kehidupan bagi para santri.
Persepsi masyarakat umum yang beranggapan bahwa
pondok pesantren cenderung melestarikan tradisi feodal, kepemimpinan
yang sentralistik dan otoriter tentu saja merupakan persepsi yang keliru
dan tidak berdasar kenyataan. Di lingkungan pondok pesantren ada
tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di
masyarakat, baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan
cara bertukar pikiran sesama santri maupun sesama para kiai. Tradisi itu
namanya bahtsul masail (forum pembahasan masalah).
Bahtsul masail adalah merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama. Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fiqh dan kalangan profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Uniknya, masalah-masalah yang dibahas tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah perkembangan politik yang aktual. Misalnya, bahtsul masail yang baru-baru ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sidogiri, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Bahtsul masail yang diikuti 180 utusan Pondok Pesantren dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur.tersebut membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam forum tersebut para peserta membahas pemilihan kepala daerah menurut dalil-dalil agama (fiqh), selain hukum negara yang ada. Sebab dalam prakteknya Pemilihan Kepala Daerah banyak ditemukan praktek-praktek politik uang (money politic).
Bahtsul masail adalah merupakan forum pembahasan masalah-masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama. Peserta bahtsul masail terdiri dari para kiai pakar ahli fiqh dan kalangan profesional yang bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Uniknya, masalah-masalah yang dibahas tidak hanya masalah agama tetapi juga masalah perkembangan politik yang aktual. Misalnya, bahtsul masail yang baru-baru ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Sidogiri, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Bahtsul masail yang diikuti 180 utusan Pondok Pesantren dan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur.tersebut membahas tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam forum tersebut para peserta membahas pemilihan kepala daerah menurut dalil-dalil agama (fiqh), selain hukum negara yang ada. Sebab dalam prakteknya Pemilihan Kepala Daerah banyak ditemukan praktek-praktek politik uang (money politic).
Selain tujuannya sebagai forum pembahasan masalah
yang berkembang di masyarakat, bahtsul masail juga sebagai forum untuk
membangun ukhuwah dan interaksi antar pesantren dan kegiatan ini
biasanya dilaksanakan rutin, baik setiap bulan maupun tahun, dan
tempatnya bergilir di beberapa pesantren. Masalah-masalah yang akan
dibahas dalam bahtsul masail merupakan usulan dari berbagai pesantren.
Usulan masalah itu dikumpulkan dan disaring oleh panitia untuk menjadi
tema pembahasan bersama dalam forum tersebut. Bahtsul Masail dilakukan
dengan dua cara, yaitu Bahtsul Masail waqi'iyah (aktual) dan Bahtsul Masail maudhu'iyah (tematik).
Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih luas dan lebih berkembang,
baik dalam forum Muktamar NU maupun forum Munas Alim-Ulama NU.
Tradisi pengambilan keputusan hukum model bahtsul masail di lingkungan pondok pesantren dan di kalangan Nahdlatul Ulama mempunyai tujuan antara lain :
Tradisi pengambilan keputusan hukum model bahtsul masail di lingkungan pondok pesantren dan di kalangan Nahdlatul Ulama mempunyai tujuan antara lain :
Pertama, supaya NU memiliki pedoman dalam menetapkan
hukum, sehingga semua keputusan di dalam bahtsul masail harus berpegang
pada cara-cara yang telah ditetapkan di dalam sistem yang sudah
disepakati.
Kedua, dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya mauquf atau tertundanya suatu masalah karena tidak ada nash atau tidak ada qaul dalam al-kutubul-mu'tabarah, atau tidak ada aqwal (pendapat), af'al (perilaku) dan tasharrufat dari assabiqunal awwalun
(para perintis) NU. Bahtsul masail juga dimaksudkan untuk menghindarkan
munculnya jawaban terhadap berbagai persoalan tanpa pedoman yang benar.
Ketiga, adalah sistem ini sekaligus memberikan penjelasan bahwa bermadzhab di lingkungan Nahdhatul Ulama menggunakan pendekatan qauli (produk pemikiran) dan manhaji sehingga tidak mungkin terjadi kesulitan dalam merespon setiap persoalan yang terjadi, baik yang menyangkut aspek diniyah maupun ijtima'iyah, aspek ekonomi, sosial, politik ataupun aspek-aspek lainnya.
Dengan demikian, pesantren yang selama ini dianggap
melestarikan tradisi feodalistik dan otoriter justru merupakan perintis
dalam berkembangnya tradisi dialog yang setara dan demokratis melalui
bahtsul masail. Kalangan pesantren justru merupakan komunitas yang
telah terbiasa dengan perbedaan pendapat -dan yang lebih penting-
menyelesaikan segala perbedaan pendapat dengan cara-cara dialog yang
damai dan demokratis, bukan dengan kekerasan apalagi sampai menutup
rumah ibadah umat lain yang berbeda agama dan aliran. Wallahu
A'lam. (Rmi/Alf)
0 komentar:
إرسال تعليق