Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan
dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw
dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda.
Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka
dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau
Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa
masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.
Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang
paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang
menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan,
orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai
‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal
dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu
sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?
Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab
persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad
bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau
mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat
wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih
mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali
dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau
dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan
tempat.
Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun
kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id
dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita
memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran
beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul),
Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam
Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu
berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan
sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.
Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati
Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya
yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.
Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa
hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya
tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap
waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,
terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada
hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal
bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia
bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah?
Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan
jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya
menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan
bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya
mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.
Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah
berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian
tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir,
memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta
menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.
Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu
dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan
oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa,
dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti
shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang
peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya
serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian
semampu kita, terutama pada bulan Maulid.
Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini
adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang
sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama
wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya,
sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka
menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala,
bid’ah, keburukan, dan fitnah.
Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul
Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa
di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash
yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah
sesuatu yang dibolehkan syara’.
Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .
Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan
kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja
mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak
perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang
kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya.
Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’
siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah
rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi,
termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang
yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran
sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman
selalu ada di hatinya?)
Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan
bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar
kepadanya.
Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah
AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan
rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58).
Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya,
sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut
dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat
bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan
kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang
waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk
mengingatnya dan mengagungkan harinya.
Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk
membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah
salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh
syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak
manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.
Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran
beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi
beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut
untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya.
Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas
jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau
dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang
utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan
qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang
mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan
kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya,
bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan
tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan
diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan
keridhaannya.
Kedelapan, mengenal perangai beliau,
mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang
Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul),
menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan
terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh)
maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini
tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama
dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan
menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa
saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan
bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan,
membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan
orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa
syukur yang paling nyata.
Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari
Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu
Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang
nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang
paling utama dan rasul yang paling mulla?
Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang
dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan
telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’,
berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah
bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di
sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun
buruk di sisi Allah.”
Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup
berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW.
Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120).
Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah
untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun
butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau,
lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan
para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan
buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan
apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai
berdasarkan dalii-dalil syara’.
Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika
haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar,
Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang
dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang
dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam
ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan
umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu
diharamkan.
Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada
di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah
hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil
syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya,
bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana
terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di
masa Nabi.
Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam
dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut
oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari
syara’, pun dituntut oleh syara’.
Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa
yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan
bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang
dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang
baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam
dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan
tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.
Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti
menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita
disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar
amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa
terpuji yang telah lalu.
Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya
tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah
pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan
munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang
disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki
dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan
banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai
Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi
keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan
pada hal-hal yang terlarang tersebut