الثلاثاء، 9 أبريل 2013

12. كتاب الصلاة: Kenapa bacaan qunut "Fainnaka taqdi" sampai "Astaghfiruka" dibaca pelan

Pertanyaan :
Aku mau numpang tanya lagi, kenapa kok do'a qunut pas "fa innaka taqdli" sampai dengan "astaghfiruka" imam selalu pelan suaranya ?
Tolong dikasih penjelasan dan ta'birnya, suwun

( Dari : Bang Choiry )


Jawaban :
Bacaan qunut mulai dari "Fainnaka taqdhi wala yuqdho 'alaik" sampai sebelum "astaghfiruka wa'atubu ilaik" adalah bentuk dzikir dan pujian bagi Alloh subhanahu wata'ala, bukan merupakan do'a, bagi ma'mum diperbolehkan diam ketika imam membacanya atau ikut membacanya bersama imam, namun yang lebih utama adalah ma'mum ikut membacanya. Nah, karena ma'mum dianjurkan untuk ikut membacanya, maka imam tidak perlu membacanya dengan keras, cukup dibaca dengan pelan seperti halnya dzikir-dzikir lain yang sama-sama dibaca oleh imam dan ma'mum (seperti bacaan tasbih ketika rukuk dan sujud). Namun menurut sebagian ulama' imam tetap membacanya dengan keras seperti halnya saat berdo'a meminta rohmat dan dijauhkan dari neraka atau yang lainnya.

Jadi sebenarnya masalah ini masih diperselisihkan diantara ulama', sebagian ulama' tetap menganjurkan bagi imam untuk membacanya dengan keras, sedangkan menurut sebagian ulama' menganjurkan untuk membacanya dengan pelan karena imam dan ma'mum sudah membacanya sendiri-sendiri. Wallohu a'lam.

( Oleh : Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 502
2. Nihayatul Muhtaj, Juz : 1  Hal : 507


Ibarot :
Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 502

وأما الثناء وهو قوله فإنك تقضي ولا يقضى عليك إلى آخره فيشاركه في قوله أو يسكت والمشاركة أولى لأنه ثناء وذكر لا يليق فيه التأمين

Nihayatul Muhtaj, Juz : 1  Hal : 507

و) أنه (يقول الثناء) سرا وهو من فإنك تقضي إلى آخره، أو يستمع له لأنه ثناء وذكر لا يليق به التأمين والمشاركة أولى كما في المجموع، والثاني يؤمن فيه أيضا، وإذا قلنا بمشاركته فيه ففي جهر الإمام به نظر، يحتمل أن يقال: يسر به كما في غيره مما يشتركان فيه، ويحتمل وهو الأوجه الجهر به كما إذا سأل الرحمة أو استعاذ من النار ونحوها فإن الإمام يجهر به ويوافقه فيه المأموم ولا يؤمن كما قاله في المجموع

11. كتاب الصلاة: Sholat Yang bisa dikerjakan diatas kendaraan

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Shalat apa sajakah yang bisa dilakukan didalam kendaraan..?
Tolong sertakan pula referensinya ya....
Terima kasih,

( Dari : Ibnu Malik )


Jawaban :
Wa’alaaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Sholat yang bisa dilakukan diatas kendaraan adalah sebagai berikut :

1. Sholat sunat
Semua sholat sunat, termasuk sholat rowatib (sholat sunat qobliyah dan ba’diyah) bisa dikerjakan diatas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat, jadi sholatnya menghadap ke arah tujuan kendaraan itu berjalan. Dalilnya adalah beberapa hadits nabi, diantaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar :

كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ نَاقَتُهُ

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan sholat sunnah kearah manapun hewan tunggangannya menghadap.” (Shohih Muslim, no.700)

2. Sholat fardhu
Sholat wajib 5 waktu juga boleh dikerjakan diatas kendaraan apabila kendaraannya sedang berhenti, sholatnya bisa dikerjakan dengan sempurna dan dikerjakan dengan menghadap kiblat. Sedangkan apabila kendaraannya berjalan maka tidak diperbolehkan. Diantara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari jabir bin Abdulloh :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat diatas tunggangannya kemanapun menghadapnya, dan jika beliau hendak mengerjakan sholat fardhu beliau turun kemudian (sholat dengan) menghadap kiblat.” (Shohih Bukhori, no.400)

Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Fathul Wahhab, Juz : 1  Hal : 42 – 43
2. Fathul wahhab, Juz : 1  Hal : 44


Ibarot :
Fathul Wahhab, Juz : 1  Hal : 42 – 43

فلمسافر) سفرا مباحا (تنفل) ولو راتبا صوب مقصده كما يعلم مما يأتي (راكبا وماشيا) «لأنه - صلى الله عليه وسلم - كان يصلي على راحلته في السفر حيثما توجهت به» أي في جهة مقصده رواه الشيخان وفي رواية لهما «غير أنه لا يصلي عليها المكتوبة

Fathul wahhab, Juz : 1  Hal : 44

ولو صلى) شخص (فرضا) عينيا أو غيره (على دابة واقفة وتوجه) القبلة (وأتمه) أي الفرض فهو أعم من قوله وأتم ركوعه وسجوده (جاز) ، وإن لم تكن معقولة لاستقراره في نفسه (وإلا) بأن تكون سائرة أو لم يتوجه أو لم يتم الفرض (فلا) يجوز لرواية الشيخين السابقة ولأن سير الدابة منسوب إليه بدليل جواز الطواف عليها فلم يكن مستقرا في نفسه

10. كتاب الصلاة: Hukum menjawab adzan yang bersamaan atau silih berganti

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Ustadz mohon dibantu,
Kan kita ketahui bahwa perkara menjawab panggilan adzan adalah fardhu kifayah
bagaiaman ketika misal dalm suatu kampung banyak yang adzan dan kadang posisinya tidak bersamaan hingga ketika misal kita sudah menjawab adzan yang pertama. Apa tetap kita wajib menjawab adzan di mesjid yang lain karena kekawatiran tidak ada yang mejawab ?

( Dari : Restu Iqbaliyahh Ginanjar )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Pertama, Perlu diketahui bahwa hukum menjawab adzan menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama' adalah sunat, kecuali menurut pendapat sebagian ulama' salaf yang mewajibkannya. Dalil kesunatan menjawab adzan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Amr bin Ash rodhiyallohu 'anhu;

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

"Jika kalian mendengar orang yang sedang adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan." (Shohih Muslim, no.384)

Kedua, Apabila terdengar suara adzan secara bersamaan, maka yang sunat dijawab adalah salah satu dari adzan tersebut.

Ketiga, Apabila suara adzan yang didengar itu banyak namun bergantian, maka semuanya sunat untuk dijawab, hanya saja adzan yang pertama didengar yang lebih dikuatkan kesunatannya untuk dijawab dan makruh apabila tidak dijawab.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Siroj Munir dan Achmad Al-fandaniy )


Referensi :
1.Al-Majmu', Juz : 3 Hal : 119
2. Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 174
3. Hasyiyah Al-Jamal Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 308-309


Ibarot :
Al-Majmu', Juz : 3 Hal : 119

فرع : إذا سمع مؤذنا بعد مؤذن هل يختص استحباب المتابعة بالأول أم يستحب متابعة كل مؤذن فيه خلاف للسلف حكاه القاضي عياض في شرح صحيح مسلم ولم أر فيه شيئا لأصحابنا والمسألة محتملة والمختار أن يقال المتابعة سنة متأكدة يكره تركها لتصريح الأحاديث الصحيحة بالأمر بها وهذا يختص بالأول لأن الأمر لا يقتضي التكرار وأما أصل الفضيلة والثواب في المتابعة فلا يختص والله أعلم
فرع : مذهينا أن المتابعة سنة ليست بواجبة وبه قال جمهور العلماء وحكى الطحاوي خلافا لبعض السلف في إيجابها وحكاه القاضي عياض

Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 174

و) سن. (لسامعهما) أي: لسامع المؤذن والمقيم قالوا، ولو محدثا حدثا أكبر. (مثل قولهما) لخبر مسلم «إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول ثم صلوا علي» ويقاس بالمؤذن المقيم وهو من زيادتي
...................................
قوله: أي: لسامع المؤذن والمقيم) فلو كثر المؤذنون قال: ابن عبد السلام يجيب كل واحد بإجابة لتعدد السبب وإجابة الأول أفضل إلا في الصبح والجمعة فهما سيان؛ لأنهما مشروعان م ر فإن أذنوا معا كفى إجابة واحد منهم ولا تسن إجابة أذان نحو الولادة وتغول الغيلان ولو ثنى حنفي ألفاظ الإقامة أجيب مثنى سم شوبري

Hasyiyah Al-Jamal Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 308-309

وإذا سمع مؤذنا بعد مؤذن فالمختار أن أصل الفضيلة في الإجابة شامل للجميع إلا أن الأول متأكد يكره تركه وقال العز بن عبد السلام إن إجابة الأول أفضل إلا أذاني الصبح فلا أفضلية فيهما لتقدم الأول ووقوع الثاني في الوقت وإلا أذاني الجمعة لتقدم الأول ومشروعية الثاني في زمنه - عليه الصلاة والسلام - ومما عمت به البلوى ما إذا أذن المؤذنون واختلطت أصواتهم على السامع وصار بعضهم يسبق بعضا. وقد قال بعضهم لا تستحب إجابة هؤلاء والذي أفتى به الشيخ عز الدين أنه يستحب إجابتهم اهـ شرح م ر وفي ق ل على الجلال، وأما الأذان الأول في الجمعة فقد حدث في زمان الإمام عثمان - رضي الله تعالى عنه
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

9. كتاب الصلاة: Langkah-langkah yang dilakukan wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh sebelum sholat

Pertanyaan :
Asslmu'alaikum wr.wb..
Bagaimanakah langkah yang harus dilakukan seorang wanita yang sedang mengeluarkan drh istiqadh, cukup dengan membersihkan darahnya kemudian berwudhu atau harus mandi karena hadas besar setiap kali mau sholat, wanita tersabut cukup mengerjakan ibadah yang wajib aja atau boleh mengerjakan juga yang sunah?
Mohon referensinya. terimakasih

( Dari : Bilqis Aulia Jasmine )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh tidak perlu mandi, sebelum melakukan sholat, cukup membersihkan darahnya dan wudhu, setelah itu mengerjakan sholat. Sholat yang boleh dikerjakan dengan wudhunya hanya satu sholat fardhu, sedangkan untuk sholat sunat tidak dibatasi, boleh mengerjakan beberapa sholat sunat dengan satu wudhu.

Secara rinci, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh wanita yang sedang mengeluarkan darah haidh sebelum melakukan sholat adalah sebagai berikut ;

1. Menyucikan badan atau pakaian yang terkena darah.

2. Menaruh semisal kapas pada tempat keluarnya darah untuk menyumbat darahnya agar tidak keluar. Namun menaruh kapas pada tempat keluarnya darah itu tidak boleh dilakukan orang yang sedang puasa, karena dapat membatalkan puasanya, begitu juga hal tersebut tidak wajib dilakukan bagi wanita yang merasa sakit apabila menaruh kapas pada tempat keluarnya darah. Apabila kapas itu tidak cukup bisa mencegah darah keluar maka wajib menambahkan kain atau pembalut .

3.Setelah itu, jika waktu sholat sudah masuk, diwajibkan segera berwudhu, dan wudhunya harus dilakukan setelah waktu sholat masuk, tidak boleh dilakukan sebelum masuknya waktu sholat. Ada dua hal yang membedakan antara wudhu wanita istihadhoh dan wudhu pada umumnya, yaitu :

•    A.Niat wudhunya tidak seperti wudhu pada umumnya yang menggunakan niat "lirof'il hadatsi" (untuk menghilangkan hadats), karena wudhunya wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh tidak menghilangkan maka niat wudhunya sebelum melakukan sholat adalah :

NAWAITUL WUDHU'A LISTIBAHATIS SHOLATI FARDHON LILLAHI TA'ALA

"Saya niat wudhu agar diperbolehkan melakukan sholat..."

Atau bisa juga dengan niat secara umum, maksudnya entah itu mau sholat atau melakukan hal-hal lain yang diharuskan wudhu dahulu, yaitu :

NAWAITUL WUDHU'A LISTIBAHATI MUFTAQIRIN ILA WUDHU'IN FARDHON LILLAHI TA'ALA

"Saya niat wudhu agar diperbolehkan melakukan perkara yang membutuhkan wudhu'..."

•    Ketika wudhu, diwajibkan untuk muwalah (terus menerus) dalam membasuh dan mengusap anggota badannya. Maksud dari muwalah adalah pembasuhan atau pengusapan anggota badan dilakukan sebelum anggota badan yang dibasuh atau diusap sebelumnya kering. Hal ini yang membedakannya dengan wudhu pada umumnya dimana muwalah hukumnya sunah, sedangkan untuk wanita yang sedang mengeluarkan istihadhoh, muwalah dalam wudhu hukumnya wajib.

4. Setelah wudhu, diwajibkan untuk segera melakukan sholat dan tidak boleh mengakhirkannya kecuali apabila mengakhirkannya karena melakukan hal-hal yang berkaitan dengan sholat, seperti menjawab adzan, melakukan sholat sunat qobliyah atau menunggu dimulainya sholat jama'ah.

Semua hal diatas dilakukan setiap kali akan melakukan sholat fardhu, termasuk mengganti kapas dan pembalutnya, atau mencuci kain yang dipakai sebagai pembalut sebelumnya.Dan bila semua hal diatas sudah dilakukan, maka sholat yang dikerjakan sah dan tidak usah mengqodho' (mengulaingi)nya lagi. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Siroj Munir )


Referensi :
1. At-Taqrirot Asy-Syadidah, Hal : 171
2. Minhajut Tholibin, Hal : 12
3. Mugnil Muhtaj, Juz : 1  Hal : 281-283


Ibarot :
At-Taqrirot Asy-Syadidah, Hal : 171

الأحكام العامة للمستحاضة
تختلف المستحاضة عن الحائض والنفساء, فالمستحاضة يجب عليها أن تصلي, وصلاتها صحيحة ولا قضاء عليها, وإذا حل رمضان وجب يجب عليها الصوم, ويجوز لزوجها أن يأتيها ولو مع سيلان الدم

الخطوات التي تتخذها المستحاضة إذا أرادت الصلاة
يجب عليها أن تتطهر من النجاسة الدم وغيره
يجب عليها الخشو في موضع خروج الدم بقطن أو نحوه, إلا غذا كانت تتأذى, أو كانت صائمة, لأن ذلك يفطرها, ويجب عليها التعصب إن لم يكف الحشو
يجب عليها المبادرة بعد ذلك بالوضوء, وشرطه أن يكون بعد دخول الوقت, والموالة فيه
يجب عليها المبادرة إلى الصلاة, فلا يجوز تأخيرها, إلا إذا كان التأخير لمصلحة الصلاة كإجابة مؤذن ونافلة قبلية وانتظار جماعة

Minhajut Tholibin, Hal : 12

فروضه ستة أحدها: نية رفع حدث أو استباحة مفتقر إلى طهر أو أداء فرض الوضوء ومن دام حدثه كمستحاضة كفاه نية الاستباحة دون الرفع على الصحيح فيهما

Mugnil Muhtaj, Juz : 1  Hal : 281-283

والاستحاضة حدث دائم كسلس، لا تمنع الصوم والصلاة، فتغسل المستحاضة فرجها وتعصبه، وتتوضأ وقت الصلاة، وتبادر بها فلو أخرت لمصلحة الصلاة كستر وانتظار جماعة لم يضر، وإلا فيضر على الصحيح ويجب الوضوء لكل فرض، وكذا تجديد العصابة في الأصح
...................................
ثم لما فرغ من أحكام الحيض شرع في بيان الاستحاضة وحكمها فقال (والاستحاضة) وقد تقدم تعريفها ويأتي فيها مزيد بيان، فإن قيل: قوله: (حدث دائم) ليس حد الاستحاضة وإلا لزم كون سلس البول استحاضة، وليس كذلك وإنما هو بيان لحكمها الإجمالي أي حكم الدم الخارج بالصفة المذكورة حكم الحدث الدائم، وقوله (كسلس) بفتح اللام أي سلس البول والمذي والغائط والريح هو للتشبيه لا للتمثيل. أجيب بعدم لزوم ما ذكر لأنه إنما حكم على الاستحاضة بأنها حدث دائم ولا يلزم من ذلك أن سلس البول ونحوه استحاضة، وقوله: كسلس مثال للحدث الدائم (فلا تمنع الصوم والصلاة) وغيرهما مما يمنعه الحيض كسائر الأحداث؛ للضرورة، ولأمره - صلى الله عليه وسلم - حمنة بهما وكانت مستحاضة كما صححه الترمذي. ثم شرع في بيان حكمها التفصيلي فقال: (فتغسل المستحاضة فرجها) قبل الوضوء أو التيمم إن كانت تتيمم (و) بعد ذلك (تعصبه) بفتح التاء وإسكان العين وتخفيف الصاد المكسورة على المشهور بأن تشده بعد غسله بخرقة مشقوقة الطرفين تخرج أحدهما من أمامها والأخرى من خلفها وتربطهما بخرقة تشدها على وسطها كالتكة: فإن احتاجت في رفع الدم أو تقليله إلى حشو بنحو قطن. وهي مفطرة ولم تتأذ به وجب عليها أن تحشو قبل الشد والتلجم، وتكتفي به إن لم تحتج إليهما. أما إذا كانت صائمة أو تأذت باجتماعه فلا يجب عليها الحشو، بل يلزم الصائمة تركه إذا كان صومها فرضا، فإن قيل: لم حافظوا هنا على مصلحة الصوم لا على مصلحة الصلاة عكس ما فعلوا فيمن ابتلع بعض خيط قبل الفجر وطلع الفجر وطرفه خارج فهلا سووا بينهما؟ . أجيب بأن الاستحاضة علة مزمنة فالظاهر دوامها، فلو راعينا الصلاة هنا لتعذر قضاء الصوم للحشو، ولأن المحذور هنا لا ينتفي بالكلية فإن الحشو تنجس وهي حاملته بخلافه ثم. تنبيه ظاهر كلام المصنف وغيره تعين غسل فرجها. قال الأذرعي: لكن قضية كلام المصنف في الاستنجاء إجزاء الحجر في الأظهر، وصرح به في التنقيح هناك. قال: ولعل مرادهم هنا ما إذا تفاحش بحيث لا يجزئ الحجر في مثله من المعتاد (و) بعد ذلك (تتوضأ) وتجب المبادرة به أو ببدله عقب الاحتياط، ولذلك قيل: لو عبر بالفاء لكان أولى ويكون ذلك (وقت الصلاة) لأنه طهارة ضرورة فلا تصح قبل الوقت كالتيمم، وقد سبق بيان الأوقات في بابه فيجيء هنا جميع ما سبق ثم. قاله في المجموع: فدخل في ذلك النوافل المؤقتة فلا تتوضأ لها قبل وقتها وهو كذلك، ولا يفهم من ذلك أنه يمتنع عليها أن تجمع بين نوافل بوضوء كما قيل لما سيأتي أنه يجب الوضوء لكل فرض (و) بعد ما ذكر (تبادر بها) أي بالصلاة وجوبا تقليلا للحدث؛ لأنه يتكرر منها وهي مستغنية عنه بالمبادرة بخلاف المتيمم السليم لانتفاء ما ذكر. أما غير السليم فالحكم فيه كما هنا (فلو أخرت لمصلحة الصلاة كستر) لعورة وأذان وإقامة (وانتظار جماعة) واجتهاد في قبلة وذهاب إلى مسجد وتحصيل سترة (لم يضر) لأنها لا تعد بذلك مقصرة. فإن قيل: كيف يصح التمثيل بأذان المرأة مع أنه غير مشروع لها؟ . أجيب بأنه محمول على الإجابة وبأن تأخيرها للأذان لا يستلزم أذانها، ولو اعتادت الانقطاع بقدر ما يسع الوضوء والصلاة اهـ. فانقطع وجب عليها المبادرة ولا يجوز لها التأخير لجماعة ولا لغيرها (وإلا) بأن أخرت لا لمصلحة الصلاة كأكل وشرب وغزل وحديث (فيضر) التأخير (على الصحيح) فيبطل وضوءها فتجب إعادته وإعادة الاحتياط لتكرر الحدث والنجس مع استغنائها عن احتمال ذلك بقدرتها على المبادرة، والثاني: لا يضر كالمتيمم. قال في المجموع: وحيث أوجبنا المبادرة. قال الإمام: ذهب ذاهبون من أئمتنا إلى المبالغة واغتفر آخرون الفصل اليسير، وضبطه بقدر ما بين صلاتي الجمع اهـ. وينبغي اعتماد الثاني، وخروج الدم بلا تقصير منها لا يضر. فإن كان خروجه لتقصير في الشد ونحوه كالحشو بطل وضوءها وكذا صلاتها إن كانت في صلاة، ويبطل أيضا وضوءها بالشفاء وإن اتصل بآخره (ويجب الوضوء لكل فرض) ولو منذورا كالمتيمم لبقاء الحدث، وإنما جوزت الفريضة الواحدة للضرورة، وخرج بالفرض النفل فلها أن تتنفل ما شاءت بوضوء، وتقدم أن صلاة الجنازة حكمها حكم النافلة (وكذا) يجب لكل فرض (تجديد العصابة) وما يتعلق بها من غسل وحشو (في الأصح) قياسا على تجديد الوضوء، والثاني: لا يجب تجديدها؛ لأنه لا معنى للأمر بإزالة النجاسة مع استمرارها، ومحل الخلاف إذا لم يظهر الدم على جوانب العصابة ولم تزل العصابة عن موضعها زوالا له وقع وإلا وجب التجديد بلا خلاف؛ لأن النجاسة قد كثرت مع إمكان تقليلها
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

8. كتاب الصلاة: Aturan fiqih mengenai shof/barisan sholat jama'ah

Pertanyaan :
Assalamu'alaiku¬m...
Bagaimana penjelasan shof sholat menurut fiqih dan hadits? lalu bagaimana hukumnya sholat tersebut bila shofnya tidak teratur? syukron¬.

( Dari : Binyake Cah Thegal )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

ATURAN PENEMPATAN MAKMUM

Penjelasan mengenai shof/barisan makmum ketika sholat berjama'ah yang berupa aturan penempatan shof berdasarkan keterangan ulama' dan hadits-hadits nabi adalah sebagai berikut :

1.Jika makmumnya hanya satu orang lelaki saja, maka makmum tersebut bertempat disamping kanan imam, posisinya agak sedikit dibelakang imam, tidak sejajar atau terrlalu jauh. Dan dimakruhkan bagi makmum tersebut bertempat disebelah kiri, karena itu disunatkan bagi imam untuk memindahkan makmum yang bertempat disebelah kanan kiri untuk kesebelah kanan dengan menghindari melakukan gerakan yang membatalkan sholat.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma :

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ

“Aku pernah sholat bersama Rosulullah di suatu malam, aku berdiri di samping kiri beliau, kemudian Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam menarik kepalaku dari belakang dan meletakkanku di samping kanan beliau.” (Shohih Bukhori, no.726 dan Shohih Muslim, no.763)

2.Apabila makmumnya berjumlah diua orang, baik keduanya adalah lelaki yang sudah dewasa atau masih anak-anak, atau keduanya adalah anaka-anak maka kedua makmum tersebut bertempat dibelakang imam

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu :

أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ، دَعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ، فَأَكَلَ مِنْهُ، ثُمَّ قَالَ: «قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ»، قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدِ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ، فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ، فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا، وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ، وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا، فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ انْصَرَفَ

"Bahwa neneknya, Mulaikah, mengundang Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam untuk menghadiri hidangan yang ia masak untuk beliau. Beliau kemudian menyantap makanan tersebut kemudian bersabda: "Berdirilah, aku akan pimpin kalian shalat." Anas berkata, "Maka aku berdiri di tikar milik kami yang sudah lusuh dan hitam akibat sering digunakan. Aku lalu memercikinya dengan air, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri diatasnya. Aku dan seorang anak yatim lalu membuat barisan di belakang beliau, sementara orang tua (nenek) berdiri di belakang kami. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam lalu sholat memimpim kami sebanyak dua rakaat lalu pergi." (Shohih Muslim, no.657)

3.Apabila setelah sholat jama'ah telah dilaksanakan anatara seorang imam dan seorang makmum, kemudian datang satu makmum lagi, maka makmum yang baru datang tadi menempati sebelah kiri imam, setelah itu apabila didepan imam masih ada tempat sedangkan dibelakang makmum sudah tidak ada tempat lagi, maka imamnya maju sedikit, dan apabila dibelakang makmum masih ada tempat sedangkan didepan imam sudah tidak ada tempat lagi, maka kedua makmum tersebut yang mundur sedikit. Sedangkan apabila didepan imam masih ada tempat dan dibelakang makmum juga masih ada tempat maka kedua makmum tersebutlah yang mundur menurut pendapat yang dianggap shohih oleh Syekh Abu Hamid dan mayoritas ulama' madzhab syafi'i, namun menurut pendapat yang Imam Al Quffal dan Qodhi Abut Thoyyib imamnya lah yang maju kedepan. Hal ini (imamnya yang maju atau ma'mumnya yang mundur) dilakukan apabila makmum tersebut datang saat berdiri dan sesudah takbirotul ihrom, apabila datangnya saat tahiyyat atau sujud maka imam hal tersebut tidak dilakukan.

Diriwayatkan dari sahabat jabir rodhiyallohu 'anhu :

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا، فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

"Aku berdiri di sisi kiri Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam, maka beliau memegang tanganku lalu memutarku sehingga beliau menempatkanku disisi kanannya. Kemudian Jabbar bin Shokhr datang lalu ia berwudlu, lalu ia datang dan berdiri di sisi kanan Rasulullah Saw, beliau lalu memegang kedua tangan kami lalu mendorong kami dan menempatkan kami dibelakang beliau." (Shohih Muslim, no.3010)

4.Apabila jama'ahnya banyak,ada orang yang sudah dewasa dan ada juga anak yang masih kecil, maka menurut pendapat mayoritas ulama' laki-laki dewasa bertempat dibagian depan dan anak-anak dibelakang, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam :

لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

"Hendaknya yang menempati posisi setelahku di antara kalian adalah orang-orang yang sabar dan berakal, kemudian orang yang setelahnya, kemudian orang yang setelahnya." (Sunan Turmudzi, no.228, Sunan Nasa'i, no.807, Sunan Ibnu Majah, no.976 dan Shohih Ibnu Hibban, no.3172)

Sebagian ulama' memiliki pendapat berbeda dalam masalah ini, mereka berpendapat posisi anak kecil diapit oleh dua orang laki-;laki yang sudah dewasa, dengan tujuan untuk mengajari anak kecil tersebut cara sholat yang benar, pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Hamid, Syekh Al Bandaniji, Qodhi Abut-Thoyyib dan yang lainnya. Namun pendapat ini dijawab bahwa meskipun anak-anak bertempat dibelakang, mereka masih bisa belajar cara sholat yang benar dari makmum laki-laki dewasa yang berada didepannya.

5.Apabila selain makmum laki-laki terdapat  juga makmum perempuan, maka makmum perempuan bertempat dibelakang makmum perempuan.

6.Apabila selain laki-laki dan perempuan terdapat makmum banci, maka makmum banci bertempat dibelakang makmum laki-laki dan didepan makmum perempuan.

7.Apabila makmumnya terdiri dari laki-laki dewasa dan anak-anak, perempuan dan juga banci, maka urutannya laki-laki dewasa berada dibarisan terdepan, dibelakangnya anak-anak, lalu banci, dan paling belakang adalah wanita.

Semua aturan mengenai urutan penempatan shof sholat jama'ah diatas hukumnya sunat, jadi apabila aturan diatas tidak diikuti tidak sampai membatalkan sholat jama'ah.


MELURUSKAN SHOF/BARISAN

Sedangkan penjelasan mengenai shof sholat jama'ah secara umum adalah mengenai masalah  meluruskan barisan. Mayoritas ulama' berpendapat bahwa meluruskan barisan ketika mengerjakan sholat jama'ah hukumnya sunat, yang dimaksud meluruskan barisan disini adalah posisi antara satu makmum dengan makmum lain yang menempati barisan yang sama lurus, tidak ada makmum yang posisinya lebih maju dari makmum lainnya, selain itu antara pundak dan kedua telapak kaki satu makmum dengan makmum yang lainnya saling menempel sehingga tak ada celah pada barisan tersebut. Dan disunatkan bagi imam untuk memerintahkan agar para makmum yang mengikuti sholat jum'at meluruskan barisan sebelum sholat jama'ah dimulai sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam. Dalam beberapa hadits diriwayatkan Nabi memerintahkan para jama'ah yang hadir untuk meluruskan barisan mereka dengan mengatakan :

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

"Luruskan barisan-barisan kalian, karena sesungguhnya meluruskan barisan adalah bagian dari mendirikan sholat." (Shohih Bukhori, no.723)

Dalam riwayat lain :

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ، مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

"Luruskan barisan-barisan kalian, karena sesungguhnya meluruskan barisan adalah bagian dari kesempurnaan sholat." (Shohih Muslim, no.433)

Sahabat Anas rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan :

أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

"Ketika sholat akan dilaksanakan, Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam menghadap kepda kami dengan wajahnya, lalu beliau berkata : "Tegakkanlah barisan-barisan kalian dan saling menempel, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku." (Shohih Bukhori, no.719)

Dalam riwayat lain terdapat tambahan :

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

"Dan salah seorang dari kami (para sahabat) menempelkan pundaknya dengan pundak temannya (orang yang ada disampingnya) dan (menempelkan) telapak kakinya dengan telapak kaki(teman)nya." (Shohih Bukhori, no.725)

Sebagian ulama', seperti syekh Ibnu Hajar Al Asqolani dan beberapa ulama' ahli hadits lainnya, menyatakan bahwa meluruskan barisan ketika sholat jama'ah hukumnya wajib berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam :

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

"Luruskanlah barisan-barisan kalian atau Alloh akan memalingkan wajah-wajah kalian." (Shohih Bukhori, no.717 dan Shohih Muslim, no.436)

Dari hadits diatas dipahami bahwa suatu ancaman yang ditujukan pada suatu tindakan yang menyalahi perintah menunjukkan bahwa perkara yang diperintahkan adalah perkara wajib, dari situ disimpulkan bahwa hukum meluruskan shof adalah wajib dan menyalahi aturan tersebut hukumnya harom.

Namun Syekh Ibnu Hajar menambahkan bahwa meskipun meluruskan barisan dihukumi wajib, sholat jama'ahnya tetap sah apabila barisanya tidak lurus, ketentuan ini dikuatkan dengan apa yang dilakukan oleh sahabat Anas, meskipun beliau mengingkari orang-orang yang tidak meluruskan barisan, beliau tidak menyuruh untuk mengulangi sholat mereka.

Kesimpulannya, mayoritas ulama' menyatakan bahwa meluruskan barisan hukumnya sunat dan sebagian ulama' menyatakan hukumnya wajib. Baik mengikuti pendapat yang menyatakan hukumnya wajib maupun sunat, sholat jama'ahnya tetap sah. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir )


Referensi :
1.Al Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 188-189
2. Al Majmu', Juz : 4  Hal : 292
3. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 27  Hal : 35-36


Ibarot :
Al Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 188-189

باب موقف الإمام والمأموم
السنة أن يقف الرجل الواحد عن يمين الإمام لما روى ابن عباس رضي الله عنه قال: بت عند خالتي ميمونة فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه فإن وقف على يساره رجع إلى يمينه فإن لم يحسن علمه الإمام كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم بابن عباس رضي الله عنه
فإن جاء آخر أحرم عن يساره ثم يتقدم الإمام أو يتأخر المأموم لما روى جابر رضي الله عنه قال: قمت عن يسار رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذ بيدي وأدارني حتى أقامني عن يمينه وجاء جابر بن صخر حتى قام عن يسار رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذنا بيديه جميعا فدفعنا حتى أقامنا خلفه لأنه قبل أن يحرم الثاني لم يتغير موقف الأول فلا يزال عن موضعه
فإن حضر رجلان اصطفا خلفه لحديث جابر وإن حضر رجل وصبي اصطفا خلفه لما روى أنس رضي الله عنه قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم وصففت أنا واليتيم وراءه والعجوز من ورائنا فصلى بنا ركعتين فإن حضر رجال وصبيان تقدم الرجال لقوله صلى الله عليه وسلم "ليليني منكم أولو الأحلام والنهي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
وإن كانت معهم امرأة وقفت خلفهم لحديث أنس رضي الله عنه فإن كان معهم خنثى وقف خلف الرجل والمرأة خلف الخنثى لأنه يجوز أن يكون امرأة فلا تقف مع الرجال

Al Majmu', Juz : 4  Hal : 292-293

أما أحكام الفصل ففيه مسائل
إحداها : السنة أن يقف المأموم الواحد عن يمين الإمام رجلا كان أو صبيا قال أصحابنا ويستحب أن يتأخر عن مساواة الإمام قليلا فإن خالف ووقف عن يساره أو خلفه استحب له أن يتحول إلى يمينه ويحترز عن أفعال تبطل الصلاة فإن لم يتحول استحب للإمام أن يحوله لحديث ابن عباس فإن استمر على اليسار أو خلفه كره وصحت صلاته عندنا بالاتفاق
الثانية : إذا حضر إمام ومأمومان تقدم الإمام واصطفا خلفه سواء كانا رجلين أو صبيين أو رجلا وصبيا: هذا مذهبنا ومذهب العلماء كافة إلا عبد الله بن مسعود وصاحبيه علقمة والأسود فإنهم قالوا يكون الإمام المأمومان كلهم صفا واحدا ثبت هذا عن ابن مسعود في صحيح مسلم دليلنا حديث جابر السابق قال أصحابنا فإن حضر إمام ومأموم وأحرم عن يمينه ثم جاء آخر أحرم عن يساره ثم إن كان قدام الإمام سعة وليس وراء المأمومين سعة تقدم الإمام وإن كان وراءهما سعة وليست قدامه تأخرا وإن كان قدامه سعة ووراءهما سعة تقدم أو تأخرا وأيهما أفضل فيه وجهان (الصحيح) الذي قطع به الشيخ أبو حامد والأكثرون تأخرهما لأن الإمام متبوع فلا ينتقل (والثاني) تقدمه قاله القفال والقاضي أبو الطيب لأنه يبصر ما بين يديه ولأنه فعل شخص فهو أخف من شخصين هذا إذا جاء المأموم الثاني في القيام فإن جاء في التشهد والسجود فلا تقدم ولا تأخر حتى يقوموا ولا خلاف أن التقدم والتأخر لا يكون إلا بعد إحرام المأموم الثاني كما ذكرنا وقد نبه عليه المصنف بقوله ثم يتقدم الإمام أو يتاخرا –إلى أن قال
الثالثة : إذا حضر كثيرون من الرجال والصبيان يقدم الرجال ثم الصبيان هذا هو المذهب وبه قطع الجمهور وفيه وجه حكاه الشيخ أبو حامد والبندنيجي والقاضي أبو الطيب وصاحبا المستظهري والبيان وغيرهم أنه يستحب أن يقف بين كل رجلين صبي ليتعلموا منهم أفعال الصلاة والصحيح الأول لقوله صلى الله عليه وسلم ليلني منكم اولوا الأحلام والنهى ثم الذين يلونهم " وأما تعلم الصلاة فيمكن وإن كانوا خلفهم
وإن حضر رجال وصبيان وخناثى ونساء تقدم الرجال ثم الصبيان ثم الخناثى ثم النساء لما ذكره المصنف فإن حضر رجال وخنثى وامرأة وقف الخنثى خلف الرجال وحده والمرأة خلفه وحدها فإن كان معهم صبي دخل في صف الرجال وإن حضر إمام وصبي وامرأة وخنثى وقف الصبي عن يمينه والخنثى خلفهما والمرأة خلفه

Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 27  Hal : 35-36

تسوية الصف في صلاة الجماعة
ذهب الجمهور إلى أنه يستحب تسوية الصفوف في صلاة الجماعة بحيث لا يتقدم بعض المصلين على البعض الآخر، ويعتدل القائمون في الصف على سمت واحد مع التراص، وهو تلاصق المنكب بالمنكب، والقدم بالقدم، والكعب بالكعب حتى لا يكون في الصف خلل ولا فرجة، ويستحب للإمام أن يأمر بذلك لقوله صلى الله عليه وسلم: سووا صفوفكم فإن تسوية الصف من تمام الصلاة وفي رواية: فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة وفي رواية: وأقيموا الصف فإن إقامة الصف من حسن الصلاة ولما رواه أنس رضي الله عنه قال: أقيمت الصلاة فأقبل علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم بوجهه فقال: أقيموا صفوفكم، وتراصوا فإني أراكم من وراء ظهري وفي رواية: وكان أحدنا يلزق منكبه بمنكب صاحبه وقدمه بقدمه
وذهب بعض العلماء - منهم ابن حجر وبعض المحدثين - إلى وجوب تسوية الصفوف لقوله صلى الله عليه وسلم: لتسون صفوفكم أو ليخالفن الله بين وجوهكم  فإن ورود هذا الوعيد دليل على وجوب التسوية، والتفريط فيها حرام؛ ولأمره صلى الله عليه وسلم بذلك وأمره للوجوب ما لم يصرفه صارف، ولا صارف هنا.
قال ابن حجر العسقلاني: ومع القول بأن تسوية الصف واجبة فصلاة من خالف ولم يسو صحيحة، ويؤيد ذلك: أن أنسا مع إنكاره عليهم لم يأمرهم بإعادة الصلاة
ومن تسوية الصفوف إكمال الصف الأول فالأول، وأن لا يشرع في إنشاء الصف الثاني إلا بعد كمال الأول، وهكذا. وهذا موضع اتفاق الفقهاء لقوله صلى الله عليه وسلم: أتموا الصف المقدم ثم الذي يليه، فما كان من نقص فليكن في الصف المؤخر وقوله صلى الله عليه وسلم: من وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله. وعليه فلا يقف في صف وأمامه صف آخر ناقص أو فيه فرجة، بل يشق الصفوف لسد الخلل أو الفرجة الموجودة في الصفوف التي أمامه؛ للأحاديث السابقة
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

7. كتاب الصلاة: Hukum Mengerjakan Sholat Sunat Sebelum Menuntaskan Tanggungan Qodho' Sholat Fardhu

Pertanyaan :
Assalamu'alaikum..
Bagaimana hukumnya melakukan sholat sunah sedangkan masih punya hutang qodho' sholat, misalnya orang Islam yg dulunya jarang banget sholat, terus sekarang dia insaf ?

( Dari : Badriyah Azzaman )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Orang yang meninggalkan sholat fardu itu dibagi menjadi 2;  orang yang meninggalkannya karena udzur dan orang yang yang meninggalkannya tanpa adanya udzur, karena itu boleh atau tidaknya mengerjakan sholat sunat bagi orang yang masih mempunyai tanggungan qodho' diperinci sebagai berikut :

1. Jika sholat fardhu tersebut ditinggalkan tanpa sengaja, semisal karena ketiduran atau lupa, maka diperbolehkan mengerjakan sholat sunat, Karena sholat fardhu yang ditinggalkan tanpa sengaja tidak diwajibkan segera mengqodho'nya, namun disunatkan untuk segera mengqodho'nya.

2. Jika sholat fardhu tersebut ditinggalkan dengan sengaja, seperti orang yang meninggalkannya karena malas atau sengaja tidur disaat sudah masuk waktu sholat dan ia ragu apakah akan bisa bangun disaat waktunya belum habis atau tidak dan meninggalkan sholat karena lupa yang tidak dianggap udzur, seperti lupa mengerjakan sholat karena bermain catur semisal , maka diwajibkan untuk mengqodho'nya seketika, dan diwajibkan mempergunakan semua waktunya untuk mengqodho' sholat, kecuali waktu yang digunakan untuk bekerja, tidur dan mengerjakan kewajikan yang sifatnya mendesak.

Maka dari itu, orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja diharamkan mengerjakan sholat sunat, namun sholat sunat yang ia kerjakan tetap sah menurut Imam Ibnu Hajar, sedangkan menurut Imam Zarkasi sholat sunatnya tidak sah.

Kesimpulannya, apabila sholat yang fardhu tersebut ditinggalkan karena udzur diperbolehkan mengerjakan sholat sunat, namun disunatkan segera mengqodho'nya, dan apabila ditinggalkan tanpa ada udzur diharamkan mengerjakan sholat sunat, namun sholat sunatnya tetap sah menurut Imam Ibnu Hajar dan tidak sah menurut Imam Zarkasi. Wallohu a'lam. 

( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Muh KHolili Aby Fitry, Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Cak Husnan, Sandal Bangqiyak dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 69
2. I'anatut Tholibin, Juz : 1  Hal : 31


Ibarot :
Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 69

أما حكم الفصل ففيه مسألتان إحداهما من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور قال صاحب التهذيب وقيل يجب قضاؤها حين ذكر للحديث والذي قطع به الأصحاب أنه يجوز تأخيرها لحديث عمران ابن حصين وهذا هو المذهب وإن فوتها بلا عذر فوجهان كما ذكر المصنف أصحهما عند العراقيين أنه يستحب القضاء على الفور ويجوز التأخير كما لو فاتت بعذر وأصحهما عند الخراسانيين أنه يجب القضاء على الفور وبه قطع جماعات منهم أو أكثرهم ونقل إمام الحرمين اتفاق الأصحاب عليه وهذا هو الصحيح لأنه مفرط بتركها ولأنه يقتل بترك الصلاة التي فاتت ولو كان القضاء على التراخي لم يقتل

I'anatut Tholibin, Juz : 1  Hal : 31

  ويبادر من مر بفائت وجوبا إن فات بلا عذر فيلزمه القضاء فورا. قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه وأنه يحرم عليه التطوع. انتهى. ويبادر به ندبا إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك
................................................
قوله: ويبادر من مر) أي المسلم المكلف الطاهر. وقوله: بفائت أي بقضائه. (قوله: والذي يظهر أنه) أي من عليه فوائت فاتته بغير عذر. (قوله: ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد له منه) كنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو فعل واجب آخر مضيق يخشى فوته. (قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي. (قوله: ويبادر به) أي بالقضاء وقوله: إن فات أي الفائت. (قوله: كنوم لم يتعد به) بخلاف ما إذا تعدى، بأن نام في الوقت وظن عدم الاستيقاظ، أو شك فيه، فلا يكون عذرا. وقوله: ونسيان كذلك أي لم يتعد به، وأما إن تعدى به بأن نشأ عن منهي عنه - كلعب شطرنج مثلا - فلا يكون عذرا

http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

6. كتاب الصلاة: Hukum Mengerjakan Qodho' Sholat Pada Waktu Yang Dilarang

Pertanyaan :
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Saya ingin bertanya mengenai hadits ini ;

عن ابن عباس قال: «شهد عندي رجال مرضيون، وأرضاهم عندي عمر أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - نهى عن الصلاة بعد العصر، حتى تغرب الشمس ،  وعن صلاة بعد الصبح حتى تشرق الشمس (أحمدو والدارمي, والبخاري, ومسلم, وابن ماجة, والترمذي, والنساتي, وأبو داود, وابن حزيمة, وأبو عوانة والطحاوي

"Ada seorang sahabat Nabi Saw yang setelah Ashar melakukan shalat sunah ba'diyah, maka dimarahi oleh Sayidina Umar,  beliau berkata: "Sesungguhnya Rasulullah Saw melarang salat
sunah setelah Ashar".

Apakah larangan ini termasuk larangan untuk mengerjakan sholat qodho' diwaktu ini?

( Dari : Zaenuddin Boncire )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Sholat qodho', baik itu itu qodho' sholat fardhu atau sholat sunat boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang dimakruhkan untuk mengerjakan sholat, seperti waktu setelah sholat ashar. Dalilnya adalah  hadits;

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي} [طه: 14


“Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat. Karena tidak ada tebusannya kecuali itu. Allah berfirman: ‘(Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku).” (QS. Thaha: 14)." ( Shohih Bukhori no. 597 dan Shohih Muslim no. 1102)

Dari kata "ketika ingat" bisa dipahami bahwa qodho' sholat fardhu itu bisa dilakukan kapan saja, termasuk pada waktu-waktu yang dimakruhkan melakukan sholat. Jadi bisa disimpulkan bahwa sholat qodho' dikecualikan dari kemakruhan sholat pada waktu-waktu tersebut.

Sedangkan pengecualian qodho' sholat sunat  berdasarkan sabda Rosululloh kepada Ummu Salamah yang menanyakan sholat yang dikerjakan Nabi setelah sholat ashar ;

يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ، إِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ بِالْإِسْلَامِ مِنْ قَوْمِهِمْ، فَشَغَلُونِي عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، فَهُمَا هَاتَانِ

"Wahai anak perempuan Abu Umayah, kamu menanyakan tentang dua rakaat sesudah ‘Ashar. Sesungguhnya telah datang kepadaku beberapa orang dari kaum Abdul Qais, mereka telah menyibukkan aku sehingga tidak sempat melakukan dua rakaat sesudah dhuhur, maka inilah kedua rakaat itu." ( Shohih Bukhori, no.1176 dan Shohih Muslim, no.834 )

Dan untuk sholat-sholat sunat yang lain diqiyaskan dengan hadits tersebut. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Siroj Munir )


 Referensi :
1. Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 109


Ibarot :
Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1  Hal : 109

وهذه الكراهة إلا لم يكن للصلاة سبب متقدم، أو تعمد الدفن فيها
وأما إذا لم يتعمد فيها الدفن وجاء اتفاقا، أو كان للصلاة سبب متقدم كسنة الوضوء وتحية المسجد وقضاء الفائتة، فأنه لا كراهة في ذلك
ويدل على عدم الكراهة: ما رواه (البخاري: 572، ومسلم: 684)، عن أنس - رضي الله عنه - عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: من نسى صلاة فليصل إذا ذكرها لا كفارة لها إلا إذا: {وأقم الصلاة لذكري} [طه: 14]. فقوله: "إذا ذكرها": يدل على أن وقتها المشروع، والمطالب بصلاتها فيه، هو وقت الذكر، وقت يذكرها في أحد الأوقات المنهي عنها، فدل على استثناء ذلك من النهي
وما رواه (البخاري: 1176، ومسلم: 834)، وعن أم سلمة رضي الله عنها: إنه - صلى الله عليه وسلم -: صلى ركعتين بعد العصر، فسألته عن ذلك فقال: "يا بنت أبي أمية، سألت عن الركعتين بعد العصر، وإنه آتاني ناس من عبد القيس، فشغلوني عن الركعتين اللتين بعد الظهر، فهما هاتان". وقيس على القضاء غيره مما له سبب متقدم من الصلوات

http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

5. كتاب الصلاة: Antara sholat sendirian diawal waktu dan sholat berjama'ah diakhir waktu, mana yang lebih utama?

Pertanyaan :
Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Mau tanya dung, Lebih utama mana sholat sndiri diawal waktu dengan sholat brjama'ah tetapi hampir mendekati akhir waktu ðğ wirid yg lama ?

( Dari : Icha Faizah )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Dalam permasalahan seperti  ini, dimana terdapat pertentangan antara suatu keutamaan (fadhilah) dan kekurang sempurnaan pahala yang didapatkan dari suatu ibadah disisi lain,  terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama' mengenai manakah yang lebih utama (afdhol) untuk dikerjakan :

1. Sholat jama'ah diakhir waktu itu lebih utama (afdhol) dari pada sholat sendiri diawal waktu, karena itu disunatkan untuk mengakhirkan sholatnya menunggu hingga sholat jama'ah yang dilangsungkan. Pendapat ini diputuskan oleh Syekh Abul Qosim Addaroqi, Syekh Abu Ali At-Thobari, penulis kitab Al-Hawi dan ulama'-ulama' lainnya dari kalangan pembesar ulama'-ulama' madzhab Syafi'i di Iraq.

2. Sholat yang dilakukan diawal waktu meskipun sendirian itu lebih utama dari pada sholat jama'ah di akhir waktu, karena itu disunatkan untuk mengerjakan sholat diawal waktu sendirian. Pendapat ini diputuskan oleh mayoritas ulama' Khurosan.

3. Hukumnya ditafsil (diperinci) : Apabila diyakini bahwa akan ditemui sholat jama'ah  diakhir waktu maka mengakhirkan sholat itu lebih utama, sedangkan apabila tidak diyakini akan ditemui sholat jama'ah diakhir waktu, maka yang lebih utama adalah menyegerakan sholat diawal waktu.Pendapat ini dikemukakan oleh Qodhi Abut-Thoyyib yang dituturkan oleh Syekh Abu Ali Al-Bandaniji dalam kitab Jami'-nya.

4. Pendapat yang dipilih oleh Imam Nawawi dalam masalah ini adalah mengerjakan sholat 2 kali, sholat pertama dikerjakan sendirian diawal waktu untuk mendapatkan keutamaan sholat diawal waktu dan sholat kedua dikerjakan diakhir waktu secara berjama'ah untuk memperoleh keutamaan sholat berjama'ah.
Pendapat ini beliau dasarkan pada hadits-hadits yang menceritakan akan datangnya suatu masa dimana para imam akan mengakhirkan sholat, Nabi menjelaskan bahwa dalam keadaan seperti itu seseorang mengerjakan sholat 2 kali.

Diantara hadits-hadits tersebut adalah hadits berikut ini ;

إِنَّهُ سَتَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مِيقَاتِهَا، وَيَخْنُقُونَهَا إِلَى شَرَقِ الْمَوْتَى، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ قَدْ فَعَلُوا ذَلِكَ، فَصَلُّوا الصَّلَاةَ لِمِيقَاتِهَا، وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ سُبْحَةً

"Sesungguhnya nanti akan datang para pemimpin yang mengakhirkan sholat dari waktunya dan mengundur-ngundur pelaksanaannya hingga hampir habis. Apabila kalian menyaksikan mereka melakukan hal tersebut, maka kalian shalatlah tepat pada waktunya, kemudian shalat pulalah berjamaah bersama-sama dengan mereka dan jadikanlah sholatmu bersama mereka sebagai suatu kesunatan". (Shohih Muslim, no.534)

ٍSedangkan apabila orang tersebut hanya ingin melakukan sholat sekali saja, maka apabila ia yakin akan menemui sholat jama'ah diakhir waktu, yang lebih utama baginya adalah sholat jama'ah diakhir waktu sebab sholat jama'ah merupakan syi'ar dari agama Islam, selain itu sholat jama'ah hukumnya fardhu kifayah, bahkan menurut sebagian ashab madzhab Syafi'i seperti Imam Ibnu Huzaimah sholat jama'ah hukumnya fardhu 'ain sebagaimana pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Jadi mengerjakan sholat jama'ah meskipun pada akhir waktu itu lebih utama untuk menghindari perbedaan pendapat ulama' yang mewajibkannya.

Imam Nawawi menambahkan apabila sholat jama'ahnya dikerjakan tidak terlalu akhir, maka yang lebih utama adalah menunggu sholat jama'ah dikerjakan, namun apabila sholat jama'ahnya dikerjakan sangat akhir (waktunya hampir habis) maka lebih baik mengerjakan sholat diawal waktu meski sendirian. Wallohu a'lam.

(Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Asybah Wan-Nadho'ir Lis-Suyuthi, Juz : 1  Hal : 338
2. Al-Majmu', Juz : 2  Hal : 263
3. Shohih Muslim, Juz : 1  Hal : 378


Ibarot :
Al-Asybah Wan-Nadho'ir Lis-Suyuthi, Juz : 1  Hal : 338

[فرع: في اجتماع الفضيلة والنقيصة]
إلى أن قال- ومنها: الصلاة أول الوقت منفردا، وآخره جماعة، وفي الأفضل طرق. قطع أكثر العراقيين: باستحباب التأخير وأكثر الخراسانيين باستحباب التقديم. وقال آخرون: حكمه حكم الماء، فإن تيقن الجماعة آخره فالتأخير أفضل، وإلا فالتقديم. قال النووي: وقد ثبت في صحيح مسلم: أن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه «ستجيء أئمة، يؤخرون الصلاة عن أول وقتها. قال: فصلوا الصلاة لوقتها، واجعلوا صلاتكم معهم نافلة» . قال: فالذي نختاره: أن يصلي مرتين، فإن اقتصر على واحدة، فإن تيقن حصول الجماعة فالتأخير أفضل ; لتحصيل شعارها الظاهر ; ولأنها فرض كفاية. وفي وجه: فرض عين، ففي تحصيلها: خروج من الخلاف. قال: ويحتمل أن يقال: إن فحش التأخير، فالتقديم أفضل. وإن خف، فالانتظار أفضل. ومنها: الصلاة أول الوقت عاريا، أو قاعدا، وآخره مستورا، أو قائما. وفيها الخلاف في المتيمم

Al-Majmu', Juz : 2  Hal : 263

فرع : اختلف كلام الأصحاب في تأخير الصلاة عن أول الوقت إلى أثنائه لانتظار الجماعة فقطع أبو القاسم الداركي وأبو علي الطبري وصاحب الحاوي وآخرون من كبار العراقيين باستحباب التأخير وتفضيله على فضيلة أول الوقت وقطع أكثر الخراسانيين بأن تقديم الصلاة منفردا أفضل ونقل إمام الحرمين والغزالي في البسيط أنه لا خلاف فيه ونقل جماعات من الأصحاب أنه إن رجا الجماعة في آخر الوقت ولم يتحققها ففي استحباب التأخير وجهان بناء على القولين في التيمم وحكى صاحبا الشامل والبيان هذا عن الأصحاب مطلقا ونقل الروياني عن القاضي أبي علي البندنيجي أنه قال قال الشافعي في الأم التقديم أول الوقت منفردا أفضل وقال في الإملاء التأخير للجماعة أفضل وقال القاضي أبو الطيب حكم الجماعة حكم التيمم إن تيقن الجماعة آخر الوقت فالتأخير أفضل وإن تيقن عدمها فالتقديم أفضل وإن رجا الأمرين فعلى القولين وهذا الذي حكاه عن القاضي أبي الطيب هو الذي ذكره أبو علي البندنيجي في جامعه كذا رأيته في نسخة معتمدة منه فهذا كلام الأصحاب في المسألة وقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم اخبر انه سيجئ أئمة يؤخرون الصلاة عن أول وقتها قال فصلوا الصلاة لوقتها واجعلوا صلاتكم معهم نافلة فالذي نختاره أنه يفعل ما أمره به النبي صلى الله عليه وسلم فيصلي مرتين مرة في أول الوقت منفردا لتحصيل فضيلة أول الوقت ومرة في آخره مع الجماعة لتحصيل فضيلتها وقد صرح أصحابنا باستحباب الصلاة مرتين على ما ذكرناه في باب صلاة الجماعة وسنبسطه هناك إن شاء الله تعالى فإن أراد الاقتصار على صلاة واحدة فإن تيقن حصول الجماعة آخر الوقت فالتأخير أفضل لتحصيل شعارها الظاهر ولأنها فرض كفاية على الصحيح في مذهبنا وفرض عين على وجه لنا وهو قول ابن خزيمة من أصحابنا وهو مذهب احمد ابن حنبل وطائفة ففي تحصيلها خروج من الخلاف ولم يقل أحد يأثم بتأخيرها ويحتمل أن يقال إن فحش التأخير فالتقديم أفضل وإن خف فالانتظار أفضل والله أعلم

Shohih Muslim, Juz : 1  Hal : 378

حدثنا محمد بن العلاء الهمداني أبو كريب، قال: حدثنا أبو معاوية، عن الأعمش، عن إبراهيم، عن الأسود، وعلقمة، قالا: أتينا عبد الله بن مسعود في داره، فقال: أصلى هؤلاء خلفكم؟ فقلنا: لا، قال: فقوموا فصلوا، فلم يأمرنا بأذان ولا إقامة، قال وذهبنا لنقوم خلفه، فأخذ بأيدينا فجعل أحدنا عن يمينه والآخر عن شماله، قال: فلما ركع وضعنا أيدينا على ركبنا، قال: فضرب أيدينا وطبق بين كفيه، ثم أدخلهما بين فخذيه، قال: فلما صلى، قال: «إنه ستكون عليكم أمراء يؤخرون الصلاة عن ميقاتها، ويخنقونها إلى شرق الموتى، فإذا رأيتموهم قد فعلوا ذلك، فصلوا الصلاة لميقاتها، واجعلوا صلاتكم معهم سبحة، وإذا كنتم ثلاثة فصلوا جميعا، وإذا كنتم أكثر من ذلك، فليؤمكم أحدكم، وإذا ركع أحدكم فليفرش ذراعيه على فخذيه، وليجنأ، وليطبق بين كفيه، فلكأني أنظر إلى اختلاف أصابع رسول الله صلى الله عليه وسلم فأراهم

http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

4. كتاب الصلاة: Hukum Menjama' Sholat Jum'at Dengan Sholat Ashar

Pertanyaan :
Assalamu'alaikum wr wb.
Kata teman saya, shalat Jum'at dan Ashar tidak bisa di jama'. Mohon ada yang bisa memberi penjelasan beserta dalil atau ibarotnya.

( Dari : Fachri Al-Fatih )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Masalah sholat jama’ antara sholat jum’at dan sholat jum’at adalah permasalahan yang diperselisihkan hukumnya diantara ulama’;

1. Menurut madzhab Syafi’I diperbolehkan menjama’ sholat jum’at dengan sholat dhuhur, diqiyaskan dengan kebolehan menjama’ sholat dhuhur dan sholat ashar, namun yang diperbolehkan hanya jama’ taqdim (dikerjakan diwaktu dhuhur) saja, dan tidak diperbolehkan jama’ ta’khir (dikerjakan diwaktu ashar), karena sholat jum’at tidak boleh diakhirkan dengan dikerjakan di waktu ashar.

2. Menurut madzhab Hanbali, menjama’ sholat jum’at dengan sholat ashar itu tidak diperbolehkan dengan alasan bahwa tidak ada dalil yang menjelaskan tentang kebolehan menjama’ sholat jum’at dan sholat ashar.

Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Siroj Munir, Ibnu Lail, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan  Nimas )


Referensi :
1. Hasyiyah At-Tarmasi (Mauhibatu Dzil Fadhl), Juz : 4  Hal : 135 (Madzhab Syafi'i)
2. Hasyiyah Al-Bujairomi Alal Khotib, Juz : 2  Hal : 175 (Madzhab Syafi'i)
3. Kasyaful Qona’ An Matnil Iqna’,  Juz : 2  Hal : 20- 21 (Madzhab Hanbali)
4. Matholibu Ulin Nuha Fi Syarhi Ghoyatil Muntaha, Juz : 1  Hal : 755 (Madzhab Hanbali)


Ibarot :
Hasyiyah At-Tarmasi (Mauhibatu Dzil Fadhl), Juz : 4  Hal : 135

فصل : في الجمع بالسفر والمطر
ويجوز ) في السفر الذي يجوز فيه القصر ( الجمع بين العصرين ) أي ك الظهر والعصر
........................................
[حاشية اترمسي]
قوله : (أي : الظهر والعصر ) أي : والجمعة كالظهر في جمع التقديم, كأن يقيم ببلد الجمعة إقامة لا تمنع الترخيص فله أن يصلي الجمعة ثم العصر عقبها, وأما جمع التأخير فيمتنع لاستحالة تأخير الجمعة

Hasyiyah Al-Bujairomi Alal Khotib, Juz : 2  Hal : 175

ويجوز للمسافر) سفر قصر (أن يجمع بين) صلاتي (الظهر والعصر في وقت أيهما شاء) تقديما وتأخيرا (و) أن يجمع (بين) صلاتي (المغرب والعشاءفي وقت أيهما شاء) تقديما وتأخيرا. والجمعة كالظهر في جمع التقديم
................................
[حاشية البجيرمي]
قوله: (والجمعة كالظهر في جمع التقديم) أي كأن دخل المسافر قرية بطريقه يوم الجمعة فالأفضل في حقه الظهر، لكن لو صلى الجمعة معهم فيجوز له في هذه الحالة أن يجمع العصر معها تقديما اط ف. وقوله: في جمع التقديم أي ويمتنع جمعها تأخيرا لأنها لا يتأتى تأخيرها عن وقتها كما في شرح م ر

Kasyaful Qona’ An Matnil Iqna’,  Juz : 2  Hal : 20- 21

 باب صلاة الجمعة) بتثليث الميم، حكاه ابن سيده والأصل الضم واشتقاقها من اجتماع الناس للصلاة وقيل: لجمعها الجماعات، وقيل: لجمع طين آدم فيها وقيل: لأن آدم جمع فيها خلقه رواه أحمد من حديث أبي هريرة وقيل: لأنه جمع مع حواء في الأرض فيها وفيه خبر مرفوع وقيل: لما جمع فيها من الخير قيل: أول من سماه يوم الجمعة كعب بن لؤي، واسمه القديم: يوم العروبة، وهو أفضل أيام الأسبوع (وهي صلاة مستقلة) ليست بدلا عن الظهر (لعدم انعقادها بنية الظهر ممن لا تجب) الجمعة (عليه) كالعبد والمسافر (ولجوازها) أي الجمعة (قبل الزوال) ولأنه (لا) يجوز أن تفعل (أكثر من ركعتين) لما يأتي عند قوله: والجمعة ركعتان. (ولا تجمع) مع العصر (في محل يبيح الجمع) بين الظهر والعصر، لعذر مما تقدم في الجمع

Matholibu Ulin Nuha Fi Syarhi Ghoyatil Muntaha, Juz : 1  Hal : 755

ولا تجمع) جمعة إلى عصر ولا غيرها (حيث أبيح الجمع) ، لعدم وروده

http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

3. كتاب الصلاة: Status Sholat Jama' Apabila Sholat Yang pertama Tidak Sah

Pertanyaan :
Assalamu'alaikum
Ketika seseorang mngerjakan sholat magrib dan setelah selesai dari sholatnya orang tersebut berdiri lagi mengerjakn sholat isya' dengan di jama' pada waktu magrib, dan ditengah-tengah sholat isya'nya orang itu ingat bahwa ada yang tertinggal dari rukun, raka'at atau syarat pada sholat maghrib yang telah usai dikerjkan.

Yang saya tanyakan; Apa yang harus dilakukn musholli (orang yang sholat) tersebut  jika hal itu terjdi?

Afiduni jazakumullohu khoir...

( Dari : Ebest Rapak Teduh )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Salah satu syarat dari sahnya sholat jama' taqdim adalah sholat yang dikerjakan sebelumnya diyakini atau memiliki persangkaan kuat sudah dikerjakan dengan sah, karena itu apabila sholat yang dikerjakan sebelumnya tidak sah karena telah meninggalkan salah satu dari syarat, rukun atau roka'atnya maka sholat yang kedua juga tidak sah.

Jadi yang harus dilakukan orang tersebut adalah tidak meneruskan sholat kedua tersebut (karena sholat tersebut tidak sah dan otomatis batal) dan mengulang sholat yang pertama sekaligus sholat yang kedua. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad )


Referensi :
Hasyiyah At-Tarmasi Alal Minhajul Qowim, Juz : 4  Hal : 138


Ibarot :
Hasyiyah At-Tarmasi Alal Minhajul Qowim, Juz : 4  Hal : 138

نعم, يمتنع التقديم للمتحيرة, وفاقد الطهورين, وكل من لم تسقط صلاته, لأن شرطه – كما يأتي – وقوع الأولى معتدا بها, وما يجب إعادته لا اعتداد به
........................................
قوله : ( لأن شرطه ) أي : جمع التقديم, تعليل للإستدراك المذكور. قوله : ( كما يأتي ) أي : قريبا في مبحث الشرط الاول من قولهم : ( ولو قدم الأولى وبان فسادها.... فسدت الثانية ). قوله : ( وقوع الاولى معتدا بها ) أي : صحيحة يقينا أو ظنا, وهو منتف في المتحيرة, بخلاف الجمع في وقت الثانثة. قوله : ( وما يجب إعادته ) أي : من الصلوات. قوله : ( لا اعتداد به ) أي : فانتفى به شرط الجمع

http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

2. كتاب الصلاة: Hukum makmum menjawab "balaa wa anaa 'alaa dzaalika minasysyaahidiin" ketika imam mengucapkan "alaisallaahu bi ahkamil haakimiin"

PERTANYAAN :

Ochied Avverrous
Assalamu'alaikum...
apa hukum iia menjawab imam yang membaca alaysallohu bi ahkamil haakimiin dengan jawaban balaa wa anaa djalika minasyahidiin .,...

JAWABAN :

1. Abdurrahman As-syafi'i
wa'alaikum salam wr.wb

اذا وجدت كل اية دعا # نبينا فسن ذاك خاشعا

Apabila engkau membaca ayat,dimana Nabi kita tlah berdoa didalamnya,maka disunahkan lah kita untuk melakukannya dgn khusu'

متى انتهيت كل سورة اتت # فادع لما من الحديث قد ثبت

Ketika engkau selesai pada ahir surat-surat tertentu,maka berdoalah sesuai hadis yg telah ada

في الملك و القيامة التين اعلمن # و المرسلات هل اتاك فاختمن

Diantaranya adalah diahir surat al mulk,alqiyamah,attin,al-mursalat,hal ataka (al ghosiyah)

2. Mbah Jenggot II

ويسن سؤال الرحمة بنحو: "اللهم إغفر أو إرحم" عند قراءة أية رحمة, والإستعاذة بنحو: "اللم أعذنى من النا" عند قراءة آية عذاب, والتسبيح آية التسبيح, وعند آخر والتين, وآخر القيامة أن يقول:"بلى وإنا على ذلك من الشاهدين", وعند آخر المرسلات :"آمنا بالله", يفعل ذلك كله من الإمام والمنفرد لقراءة نفسه, والمأموم لقراءة إمامه أو نفسه حيث لم يسمع قراءة إمامه وغير المصلى لكل قراءة سمعها.

Busyrol karim juz I hal 77

Dan disunahkan meminta rahmat dengan berucap semisal : “Ya Allah ampunilah, Ya Allah rahmatilah” ketika membaca ayat rahmat. Dan disunahkan meminta perlindungan dengan berucap semisal : “Ya Allah, selamatkanlah aku dari api neraka” ketika membaca ayat adzab, bertasbih ketika membaca ayat tasbih, dan ketika membaca akhir dari surat at-tin dan akhir surat al-Qiyamah agar membaca: (“Ya, dan kami atas hal itu termasuk para saksi,) dan pada akhir surat al-Mursalat agar membaca : (“Kami beriman kepada Allah”.)disunahkan agar melakukan hal tsbt masing-masing imam dan orang yang shalat sendiri karena mendengar bacaannya agar melakukan ssemua yang tersebut tadi, dan seorang makmum karena bacaan imamnya atau karena mendengar bacaannya sendiri apabila dia tidak mendengar bacaan imam, dan bagi orang yang tidak shalat apabila mendengar setiap bacaan yang ia dengar.

Minhajul qowim hal 40

فَتَنْقَطِعُ الْفَاتِحَةُ باِلسُّكُوْتِ الطَّوِيْلِ إِنْ تَعَمَّدَهُ أو إِنْ طَان يَسِيْرًا وَقَصَدَ بِهِ قَطْعَ الْقِرَأَةِ وَبِالذِّكْرِ إِلاَّ إِنْ كَانَ نَاسِيًا وَإِلاَّ إِذَا سُنَّ فىِ الصَّلاَةِ كَالتَّأْمِيْنِ وَالتَّعَوُّذِ وَسُؤَالِ الرَّحْمَةِ وسجود التلاوة لقراءة إمامه والرد عليه.
(والتعوذ) من العذاب وسؤال الرحمة عند قراءة آياتهما منه أو من إمامه, وقوله بلى عند سماعه "أليس الله بأحكم الحاكمين".

Maka bacaan fatihah itu terputus dengan diam yang lama apabila dia melakukannya dengan sengaja atau sebentar akan tetapi dia berniat memutus bacaan, dan juga terputus dengan dzikir kecuali apabila dia lupa. Apabila tidak, maka tidak apa-apa selagi dzikir tersebut termasuk dzikir yang disunahkan didalam shalat seperti membaca amin, ta’awwud, meminta rahmat, sujud tilawah karena bacaan imam dan menjawabinya.
Ucapan pengarang (والتعوذ) : artinya berlindung dari adzab (وسؤال الرحمة ) meminta rahmat, tatkala membaca ayat-ayat adzab atau ayat rahmat dari bacaannya sendiri atau bacaan imamnya. Adapun ucapannya (بلى) itu tatkala mendengar ayat : أليس الله بأحكم الحاكمين.

3. Abdullah Afif
Nambah:

Bagaimana hukum menjawab (yang lebih tepat: mengucapkan) "BALAA WA ANAA 'ALAA DZAALIKA MINASYSYAAHIDIIN" usai membaca / mendengar ayat "ALAISALLAAHU BI AHKAMIL HAAKIMIIN"

Jawab:
Hukumnya sunnah
Ta'bir dari kitab:
Attibyaan Fii Aaadaabi Hamalatil Quran halaman 121, karya Imam Nawawi:


ومنها أنه يستحب له أن يقول ما رواه أبو هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم : أنه قال من قرأ والتين والزيتون فقال أليس الله بأحكم الحاكمين فليقل بلى وأنا على ذلك من الشاهدين رواه أبو داود والترمذي بإسناد ضعيف

Diantara masaail (beberapa masalah):
Bahwasanya disunnahkan bagi orang yang membaca Al Quran agar membaca apa yang diriwayatkan oleh shahabat Abu Hurairah -radhiyallaahu 'anhu- dari Nabi -shallallaahu 'alaihi wasallam- bahwasanya beliau bersabda: "Barang siapa membaca "WATTIINI WAZZAITUUNI" dan dia membaca"ALAISALLAAHU BI AHKAMIL HAAKIMIIN" maka hendaklah dia membaca:
BALAA WA ANA 'ALAA DZAALIKA MINSYSYAAHIDIIN

HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dengan isnad yang dha'if

Catatan Pertama:
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya juz I halaman 202, hadits nomor 887, cetakan ke I tahun 1410 H - 1990 M, Daar Al Fikr / 1/331, maktabah syamilah.

Berikut sanad dan matannya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الزُّهْرِىُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنِى إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ سَمِعْتُ أَعْرَابِيًّا يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ (وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ) فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا (أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ) فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ

Juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannnya juz V halaman 113-114, hadits nomor 3405, cetakan ke II tahun 1403 H - 1983 / 5/443, maktabah syamilah

Juga diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Mustadraknya 2/510, maktabah syamilah

Berikut sanad dan matannya:

أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الْمَحْبُوبِيُّ ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَسْعُودٍ ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ، أَنْبَأَ يَزِيدُ بْنُ عِيَاضٍ ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ ، عَنْ أَبِي الْيَسَعِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَرَأَ {أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى} قَالَ : بَلَى وَإِذَا قَرَأَ {أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ} قَالَ : بَلَى

Imam Hakim berkata:

هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ

Al Hafizh Adz Dzahabi dalam Talkhis berkata: "SHAHIIHUN."

Sumber link untuk al Mustadrak:
http://www.kl28.net/knol3/?p=view&post=86167

Catatan kedua:
Ta'bir kesunnahan bagi orang yang mendengar adalah sebagaimana yang dikutip oleh Mbah Jenggot II dari Kitab Busyrol Karim 1/77

Wallaahu A'lam

LINK ASAL :
http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/382094141813400/

1. كتاب الصلاة: Pakaian Imam Ada Najisnya

PERTANYAAN :

Alkannas Sadja

 Assalamu'alaikum.... deskripsi masalah. imam sholat yang terkena najis namun sang imam tidak mengetahui. tapi yang mengetahui kenajisan itu adalah si makmum.
pertanyaan:
1. bagaimana hukum sholat jama'ahnya.
2. apa yang harus dilakukan oleh si makmum yang mengetahui kenajisannya sang imam.
matur suwun... ^_^


JAWABAN :


>> Dewan Masjid Assalaam

wa'alaikumussalaam
1. hukum shalat jamaahnya batal, shalat imam batal, shalat makmum batal jika ia mengetahui najisnya imam dan tidak mufarroqoh. Jika makmum mufarroqoh maka shalatnya sah.
2. Makmum wajib mufarroqoh dari imam.

ketika mengetahui bahwa imamnya memiliki najis maka makmum wajib mufarroqoh. Jika tidak maka shalatnya batal. Jika tahunya setelah salam maka imam maupun makmum wajib mengulang shalatnya kecuali najisnya imam adalah najis khafy (hukmiyyah) atau imamnya berhadats maka makmum tidak wajib mengulang.

والحاصل أنه لو بان إمامه كافراً ولو مخفياً كفره كزنديق أو خنثى أو مجنوناً أو أمّياً قادراً على التعلم أو تاركاً للفاتحة أو البسملة في الجهرية أو تجب عليه الإعادة أو ساجداً على كمه الذي يتحرك بحركته أو تاركاً تكبـيرة الإحرام، أو قادراً على القيام أو السترة وكان يصلي من قعود، أو عارياً وجبت الإعادة إن بان بعد الفراغ من الصلاة، فإن بان في أثنائها وجب استئنافها لكون الإمام ليس من أهل الإمامة في ذاته (لا) إن بان إمامه (ذا حدث) ولو أكبر (أو خبث) أي ذا نجاسة خفية وهي الحكمية التي لا يدرك لها طعم ولا لون ولا ريح، ومثل ذلك كل ما يخفى على المأموم عادة كعدم النية، وكتيممه بمحل يغلب فيه وجود الماء وكونه تاركاً للفاتحة أو للبسملة في السرية أو للتشهد مطلقاً، ولو أحرم المأموم بإحرام الإمام ثم كبر الإمام ثانياً بنية سراً لكونه شك في التكبـير الأوّل لا يضر في صحة صلاة المأموم لأن هذا مما يخفى ولا أمارة عليه، أما لو بان إمامه ذا نجاسة ظاهرة وهي العينية فإنه تلزمه الإعادة، ولا فرق في ذلك بـين القريب والبعيد، ولا بـين القائم والقاعد ولا بـين الأعمى والبصير، ولا بـين باطن الثوب وظاهره نظراً للشأن



>> Ghufron Bkl

bila berupa najis zhohir/ainiyah bila tau setelah salam maka shalaty harus di ulang,akan tetapi menurut imam Nawawiy tdk wajib di ulang shalaty baik berupa najis zhohir/ayniyah ato najis khofiy/hukmiyah. :

.لا إن اقتدى بمن ظن متطهرا فبان ذا حدث ولو حدثا أكبر أو ذا خبث خفي ولو في جمعة إن زاد على الأربعين فلا يجب الإعادة وإن كان الإمام عالما لانتفاء تقصير المأموم اذ لا إمارة عليهما ومن ثم حصل له فضل الجماعة أما اذا بان ذا خبث ظاهر فيلزمه الإعادة على الأعمى لتقصيره وهو ما بظاهر الثوب وان حال بين الإمام والمأموم حائل والأوجه في ضبطه أن يكون بحيث لو تأمله المأموم رآه والخفي بخلافه وصحح النووي في التحقيق عدم وجوب الإعادة مطلقا
.إعانة الطالبين ٢/٤٦


bila najis tsb di ketahui di pertengahan shalat maka shalaty harus di ulang lagi dari awal dan tdk cukup dgn niat mufaroqoh saja bla berupa najis zhohir/ayniyah, dan belum berupa najis khofiy/hukmiyah maka cukup niat mufaroqoh/shalaty tdk usah di ulang dari awal. :

.كل ما يوجب الإعادة إذا طرأ في الأثناء أوظهر أوجب الإستئناف ولا يجوز الإستمرار مع نية المفارقة وكل ما لا يوجب الإعادة مما يمنع صحة الإقتداء إبتداء عند العلم إذا طرأ في الأثناء أو ظهر لا يوجب الإستئناف ويجوز الإستمرار مع نية المفارقة.
إعانة الطالبين ٢/٤٥


Wallaahu A'lam
Link Diskusi >>
https://www.facebook.com/groups/196355227053960?view=permalink&id=566985523324260&p=0&refid=18

الاثنين، 8 أبريل 2013

40. الطهارة: Najis Pada Kaki Lalat

PERTANYAAN :
Acul Toer
Bagai mana hukumnya najis yang di bawa kaki lalat.,?

JAWABAN :

Masaji Antoro
Tergolong najis yang di Ma’fu (diampuni)

قال شيخنا كالسيوطي تبعا لبعض المتأخرين إنه يعفى عن يسير عرفا …وما على رجل ذباب وإن رؤي
( قوله وعما على رجل ذباب ) أي ويعفى عن النجس الذي على رجل الذباب في الماء وغيره
فهو معطوف على قوله عن يسير عرفا
( وقوله وإن رؤي ) أي يعفى عنه مطلقا سواء رؤي أم لم ير
فإن قيل كيف يتصور العلم به وهو لم ير أجيب بأنه يمكن تصويره بما إذا عفى الذباب على نجس رطب ثم وقع على شيء فإنه لا ينجس
ويمكن تصويره أيضا بما إذا رآه قوي البصر والمنفي رؤية البصر المعتدل
Berkata Guru Kami seperti Imam as-Suyuuthy dengan mengikuti ulama-ulama muta-akhkhiriin “Sesungguhnya dima’fu (diampuni) sesuatu yang menurut ‘urf naas (penilaian orang banyak) dianggap sedikit… ...
seperti sesuatu yang terdapat pada kaki lalat meskipun dapat terlihat.
(Keterangan sesuatu yang terdapat pada kaki lalat) artinya dan diampuni najis yang terdapat pada kaki lalat yang hinggap pada air atau lainnya
(Keterangan meskipun dapat terlihat) artinya hokum diampuni kenajisannya mutlak baik najisnya terlihat atau tidak.
Bila dipertanyakan “Bagaimana dapat digambarkan mengetahui najisnya sementara dikatakan najisnya tidak terlihat ?”
Maka jawabannya “Penggambarannya :
(1) semisal lalat yang hinggap pada benda najis yang kemudian dia berada pada suatu benda maka benda tersebut tidak menjadi najis.
(2) Najis yang terdapat pada kaki lalat tersebut dapat dilihat oleh orang yang memiliki penglihatan yang amat tajam tapi tidak dapat dilihat oleh mata orang pada umumnya".
I’aanah at-Thoolibiin I/88
Wallaahu A'lamu Bis Showaab

http://www.piss-ktb.com

39. الطهارة: Mengulangi Niat saat MANDI WAJIB

PERTANYAAN

Muhammad Bisri Musthofa

Assalamualaikum pertanyaan titipan :
Bila mandi besar dengan cara dicicil apakah ketika ingin menyempurnakan mandi harus ada qosdu (tujuan) untuk meneruskannya mohon disertai referensinya sekian terima kasih wassalamualaikum

JAWABAN

Hakam Ahmed ElChudrie

TIDAK PERLU, karena muwaalah dalam mandi wajib hukumnya sunnah

ولو نوى رفع الجنابة وغسل بعض البدن ثم نام فاستيقظ وأراد غسل الباقي لم يحتج إلى إعادة النية
 ( قوله لم يحتج إلى إعادة النية ) أي لعدم اشتراط الموالاة فيه بل هي سنة فقط
 كما صرح به في المنهاج في باب التيمم
Wa law nawaa raf'al janabati wa ghosala ba'dhol badani tsumma naama fastaiqodzo wa aroda ghoslal baaqi lam yahtaj ila i'adatin niyyah..
(qouluhu lam yahtaj ila i'adatin niyyat) ay li'adamisytirothil muwalaati fih bal hiya sunnatun faqoth..


Artinya : Bila seseorang niat mandi JNANABAT dan membasuh sebagian anggauta tubuhnya kemudian tidur dan setelah ia bangun ingin membasuh sisa-sisa anggauta tubuhnya yang lain maka tidak dibutuhkan pengulangan niat

(keterangan maka tidak dibutuhkan pengulangan niat) karena tidak adanya sarat muwaalah (terus-menurus) dalam mandi wajib.Hukum muwaalah dalam mandi wajib hanyalah sunnah
I'anah at-Thoolibiin 1/75

[http://0.facebook.com/home.php?sk=group_196355227053960&view=doc&id=282540791768736&

38. الطهارة: Cipratan Air Ketika Kencing Di Sungai

PERTANYAAN :

Toni Imam Tontowi

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ، حمدا وشكرا لله
، بسم الله الرحمن الرحيم

deskrisi masalah :si Otong kencing di sungai , karena air kencingnya langsung mengarah ke air sungai maka ada percikan halus yang mengarah kemana mana dan diantaranya ada yang mengenai sarungnya.

pertanyaan :termasuk air apakah percikan tadi ?monggo dibahas pelan pelan ....

Allahumma sholli 'alaa sayyidinaa Muhammad

JAWABAN :

Hadlro Maut

واما الرشاش بسبب صدم البول او البعرة للماء الكثير فطاهر

tarsyikhul mustafidin 15

Ghufron Bkl

bila kencing pd air banyak najis bila percikan itu jelas berubah salah satu sifaty ato jelas berupa kencing.i'anah 1/32

ولو بال فى البحر مثلا فارتفعت منه رغوة فهي نجسة إن تحقق أنها من عين النجسة أو من المتغير أحد أوصافه بها والا فلا

i'anah 1 / 32

37. الطهارة: Najiskah Bulu Ayam Dan Sayap Laron

PERTANYAAN :

Shinta Yach Gi
apakah bulu ayam & sayapnya laron itu najis bila sudh terpisah dgn tubuhnya? tolong dijawab


JAWABAN :

Masaji Antoro
‎>>

فرع في أجزاء الحيوان الأصل أن ما انفصل من حي فهو نجس الشعر المجزوز من مأكول اللحم في الحياة والصوف والوبر والريش فكلها طاهرة بالاجماع
والمتناثر والمنتوف طاهر على الصحيح ويستثنى أيضا شعر الآدمي والعضو المبان منه ومن السمك والجراد ومشيمة الآدمي فهذه كلها طاهرة على المذهب وهذا الذي ذكرناه في الشعور تفريع على المذهب في نجاسة الشعر بالموت

CABANG, menjelaskan tentang bagian-bagian tubuh binatang
"Sesuatu yang terpisah dari binatang yang masih hidup hukumnya najis"
Rambut yang di cukur dari binatang yang halal dimakan saat hidupnya, serta bulu (dari semacam wool domba), dan bulu (dari semacam binatang kelinci) dan bulu (dari semacam burung, LAR-java pen.) semuanya dihukumi SUCI dengan kesepakan para Ulama, sedang bulu yang dicabut darinya hukumnya SUCI menurut pendapat yang shahih.
Dikecualikan juga rambut manusia dan amggota yang nyata darinya, ikan, belalang, ari-ari manusia semuanya hukumnya semua juga suci menurut pendapat yang bisa di jadikan Madzhab.
Roudhotut Thoolibiin I/15
================

( وما قطع من حي فهو ميت إلا الشعور المنتفع بها في المفارش والملابس وغيرهما ) الأصل في ذلك حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن جباب أسنمة الإبل وأليات الغنم فقال ما قطع من حي فهو ميت وفي رواية ما قطع من بهيمة وهي حية فهو ميت ويستثى من عموم ذلك شعر المأكول وريشه وصوفه ووبره إذا انفصل في حياته بقطع أو قص فإنه طاهر وكذا ما تناثر أو نتف في الأصح

"Sesuatu yang dipotong dari barang hidup hukumnya mati (najis) kecuali rambut yang bisa dimanfaatkan untuk tikar, pakaian dan lain sebagainya berdasarkan hadits Nabi riwayat Abi Said alkhudhri saat Nabi ditanya tentang Jubah yang terbuat punuk unta dan pantat kambing, Nabi menjawab
"Sesuatu yang dipotong dari barang hidup hukumnya mayat, di riwayat lain "Sesuatu yang dipotong dari binatang yang hidup hukumnya mayat"
Dikecualikan dari keumuman hadits ini rambut dari binatang yang halal di makan dagingnya bulu2nya, bila dipotong saat hidupnya dengan memotong, mencukur maka suci (ulama sepakat) begitu juga yang dicabut menurut pendapat yang shahih (ulama berbeda pendapat).
Kifaayah Al-Akhyaar I/521

الأحد، 7 أبريل 2013

36. الطهارة: Mensikapi Potongan Rambut dan Kuku

PERTANYAAN
Dlm islam bgi seseorg yg memotong rambut / kuku apakah dianjurkan untk memendam bekas potongan rambut dn kuku tsb. .??atau mlah sbaiknya dibuang begitu sja. .?
JAWABAN
Terjadi perbedaan pendapat di antara Ulama, ada yang berpendapat wajib ada yang berpendapat sunah dalam menanamnya (menguburnya) pendapat yang shahih sunnah,,

( قَوْلُهُ : وَإِنْ قُلْنَا يَجِبُ دَفْنُهَا ) أَيْ عَلَى قَوْلٍ وَإِلَّا فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ لَا يَجِبُ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ ( قَوْلُهُ وَجَوَابُهُ ) أَيْ كَمَا فِي شَرْحِ الرَّوْضِ

Tuhfah Almuhtaaj II/443


http://www.piss-ktb.com

36. الطهارة: Membuat Tato

PERTANYAAN :

Alech Najwa
Asslm alaikum wrwrkth.. TATO.. skrng jd trend d kalangan anak2 muda , g cuma laki-laki yg prempuan Y pun g kalah banyak.. Kata Y seni.. Gmn nie khukum mnrut islam itu sendiri ?? Skrn kang akeh..

JAWABAN :

>> Mbah Jenggot
Tato ada 2 macam.
1. permanen sulit hilang. model ini tinta ada dibawah kulit cr masukkan tinta dngn jarum.yg jenis ini wudhu /junub sah karena tidak menghalangi sampainya air ke kulit.
2. non permanen tinta diluar kulit.jns ini wudhunya g sah.
Dua2nya Hukum membuatnya haram.

>> Raden Mas LeyehLeyeh

 فرع لو دخلت شوكة في اسبعه مثلا وصار رأسها ظاهرا غير مستور فإن كانت بحيث لو قلعت بقى موضعها مجوفا وجب قلعها ولا يصح غسل اليدين او الرجلين مع بقائها وإن كانت لو قلعت لا يبقى موضعها مجوفا بل يلتحم وينطبق لم يجب قلعها وصح غسل اليدين

Bujaiirimi alal manhaj 1/71

>> Masaji Antoro
Hukum membikin TATTO satu paket dengan hukum memakai BEHEL atau PANGUR, HARAM

وَعَنْ اَبِيْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَالَ: لَعنَ اللّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِِِمَاتِ وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ المُتَغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ, فَقَالَتْ لَهُ إِمْرَاءَةٌ فِى ذَلِكَ، فَقَالَ: وَمَا لِى لأَلْعَنُ مَنْ لَعَنَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِى كِتَابِ اللهِ، قَال اللهٌ تَعَالَى: وَمَا آتَاكُمْ الرَسُولُ فَخُذُوه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فانْتَهُوا. مُتَّفَقْ عَلَيْهِ

Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud ra bahwasanya beliau telah berkata: Allah melaknat para wanita yang bertato dan para wanita yang minta ditato, para wanita yang menyuruh wanita lain untuk mencabuti bulu alisnya agar menjadi tipis dan tampak indah dan para wanita yang merenggangkan gigi mereka sedikit untuk kecantikan dan para wanita yang mengubah ciptaan Allah. Ada seorang wanita yang berkata kepada beliau dalam hal tersebut, kemudian beliau berkata: "Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw, sedangkan hal itu disebutkan dalam al Quran", Allah ta’ala berfirman: Apa saja yang rasul datangkan kepadamu, maka ambillah dan apa saja yang Rasul melarang kepada kamu sekalian, maka hentikanlah. Telah disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhori dan Muslim.

Kitab Dalilul Falikhin juz 4 hal 494:

ويحرم نمص (وهو نتف الشعر من الوجه)، ووَشْر (أي برد الأسنان لتحدد وتفلج وتحسن)، ووشْم (وهو غرز الجلد بإبرة حتى يخرج الدم ثم حشوه كحلاً أو نيلة ليخضر أو يزرق بسبب الدم الحاصل بغرز الإبرة)، ووصل شعر بشعر، لقوله صلّى الله عليه وسلم : «لعن الله الواشمات والمستوشمات، والنامصات والمتنمصات، والمتفلجات للحسن، المغيرات خلق الله» (3) أي الفاعلة، والمفعول بها ذلك بأمرها، واللعنة على الشيء تدل على تحريمه؛ لأن فاعل المباح لا تجوز لعنته.
__________
(3) رواه الجماعة عن ابن مسعود، ورواه الجماعة أيضاً عن ابن عمر: «لعن الله الواصلة والمستوصلة،والواشمة والمستوشمة» وهم صحيحان (نيل الأوطار: 190/6) والواصلة: هي التي تصل شعر امرأة بشعر امرأة أخرى، لتكثر به شعر المرأة. والمستوصلة: هي التي تطلب أن يفعل بها ذلك، ويقال لها: موصولة. والوشم حرام على الفاعل والمفعول به. والمتنمصات: جمع متنمصة: وهي التي تطلب نتف الشعر من وجهها، والنامصة: المزيلة شعرها من نفسها أو من غيرها، والمتفلجات جمع متفلجة وهي التي تبرد ما بين أسنانها والثنايا والرباعيات. قال الطبري: لا يجوز للمرأة تغيير شيء من خلقتها التي خلقها الله عليها بزيادة أو نقص، التماس حسن، لا للزوج ولا لغيره، .كمن تكون مقرونة الحاجبين، فتزيل ما بينهما توهم البلج وعكسه (تحفة الأحوذي بشرح الترمذي: 67/1).

Al-Fiqh al-Islaam I/410

- وَمِنْ أَنْوَاعِ الْجِرَاحَةِ أَيْضًا مِنْ أَجْل التَّزَيُّنِ : مَا اعْتَادَهُ بَعْضُ النَّاسِ مِنَ الْوَشْمِ وَالْوَشْرِ الْوَارِدَيْنِ فِي حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال : قَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ ، (2) وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ ، (1) وَفِي رِوَايَةٍ : نَهَى عَنِ الْوَاشِرَةِ (2) .
قَال الْقُرْطُبِيُّ : هَذِهِ الأُْمُورُ مُحَرَّمَةٌ ، نَصَّتِ الأَْحَادِيثُ عَلَى لَعْنِ فَاعِلِهَا ؛ وَلأَِنَّهَا مِنْ بَابِ التَّدْلِيسِ ، وَقِيل : مِنْ بَابِ تَغْيِيرِ خَلْقِ اللَّهِ تَعَالَى . (3)
__________
(2) الوشم : أن يغرز في العضو إبرة أو نحوها حتى يسيل الدم ثم يحشي بنورة أو غيرها فيخضر . والواشمات جمع واشمة وهي : التي تشم ، والمستوشمات جمع مستوشمة وهي التي تطلب الوشم .
(1) حديث : " لعن الله الواشمات والمستوشمات . . . " أخرجه مسلم ( 3 / 1678 - ط الحلبي ) من حديث عبد الله بن مسعود رضي الله عنه ، وفي رواية : نهى عن الواشرة . أخرجه أحمد في مسنده وصححه أحمد شاكر . ( المسند 6 / 22 - ط المعارف ) .
(2) والوشر : أن تحد الأسنان بمبرد ليتباعد بعضها عن بعض قليلا تحسينا لها .
(3) تفسير القرطبي 5 / 392 ، 393 ، وفتح الباري 10 / 372 .

Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah XI/273

( تتمة ) تجب إزالة الوشم وهو غرز الجلد بالإبرة إلى أن يدمى ثم يذر عليه نحو نيلة فيخضر لحمله نجاسة هذا إن لم يخف محذورا من محذورات التيمم السابقة في بابه أما إذا خاف فلا تلزمه الإزالة مطلقا
وقال البجيرمي إن فعله حال عدم التكليف كحالة الصغر والجنون لا يجب عليه إزالته مطلقا وإن فعله حال التكليف فإن كان لحاجة لم تجب الإزالة مطلقا وإلا فإن خاف من إزالته محذور تيمم لم تجب وإلا وجبت ومتى وجبت عليه إزالته لا يعفى عنه ولا تصح صلاته معه
ثم قال وأما حكم كي الحمصة فحاصله أنه إن قام غيرها مقامها في مداواة الجرح لم يعف عنها ولا تصح الصلاة مع حملها وإن لم يقم غيرها مقامها صحت الصلاة ولا يضر انتفاخها وعظمها في المحل ما دامت الحاجة قائمة وبعد انتهاء الحاجة يجب نزعها
فإن ترك ذلك من غير عذر ضر ولا تصح صلاته
اه
I’aanah at-Thoolibiin I/107

TATTO
>> Hukum bertatto HARAM
>> Menghilangkan tatto bila dilakukan saat seseorang sudah mukallaf (dewasa dan berakal), tidak dipaksa, tahu keharamannya, tanpa kepentingan, bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya, bila tidak maka tidak wajib.
>> Wudhu, shalat dan menjadikan imam orang yang bertatto sah

الكتاب : الإقناع في حل ألفاظ أبى شجاع 1/ 139القول في حكم الوشم فروع: الوشم وهو غرز الجلد بالابرة حتى يخرج الدم ثم يذر عليه نحو نيلة ليزرق أو يخضر بسبب الدم الحاصل بغرز الجلد بالابرة حرام للنهي عنه، فتجب إزالته إن لم يخف ضررا يبيح التيمم، فإن خاف لم تجب إزالته ولا إثم عليه بعد التوبة، وهذا إذا فعله برضاه بعد بلوغه وإلا فلا تلزمه إزالته، وتصح صلاته وإمامته ولا ينجس ما وضع فيه يده مثلا إذا كان عليها وشم.

BAHASAN TATTO :
Tatto ialah tanda pada tubuh yang dihasilkan dengan cara menusukkan jarum pada tubuh hingga mengeluarkan darah kemudian meninggalkan warna membiru atau menghijau dari bekas tusukan jarum tersebut, perbuatan semacam ini dilarang berdasarkan hadits Nabi

وَعَنْ اَبِيْ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَالَ: لَعنَ اللّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِِِمَاتِ وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ المُتَغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ, فَقَالَتْ لَهُ إِمْرَاءَةٌ فِى ذَلِكَ، فَقَالَ: وَمَا لِى لأَلْعَنُ مَنْ لَعَنَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِى كِتَابِ اللهِ، قَال اللهٌ تَعَالَى: وَمَا آتَاكُمْ الرَسُولُ فَخُذُوه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فانْتَهُوا. مُتَّفَقْ عَلَيْهِ

Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud ra bahwasanya beliau telah berkata: Allah melaknat para wanita yang bertato dan para wanita yang minta ditato, para wanita yang menyuruh wanita lain untuk mencabuti bulu alisnya agar menjadi tipis dan tampak indah dan para wanita yang merenggangkan gigi mereka sedikit untuk kecantikan dan para wanita yang mengubah ciptaan Allah. Ada seorang wanita yang berkata kepada beliau dalam hal tersebut, kemudian beliau berkata: "Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah saw, sedangkan hal itu disebutkan dalam al Quran", Allah ta’ala berfirman: Apa saja yang rasul datangkan kepadamu, maka ambillah dan apa saja yang Rasul melarang kepada kamu sekalian, maka hentikanlah. Telah disepakati kesahihannya oleh Imam Bukhori dan Muslim.
(Kitab Dalilul Falikhin juz 4 hal 494)

Dan bagi yang sudah terlanjur memakainya wajib menghilangkannya sedapat mungkin bila memang tidak menimbulkan bahaya pada dirinya dengan bahaya yang dapat diperkenankan seseorang menjalani tayammum, bila khawatir menimbulkan bahaya maka tidak wajib menghilangkannya dan ia juga tidak berdosa karenanya bila memang ia telah bertaubat.Ketentuan ini (wajib menghilangkannya) saat tattoo tersebut dilakoni dengan kerelaannya (tidak dipaksa) waktu ia sudah baligh/dewasa, bila terdapat sebelum dewasa atau dipaksa saat membuatnya maka tidak wajib dihilangkan.Shalat dan menjadikan imam orang bertatto dihukumi sah, dan tinak menjadi najis akibat semacam tangan disentuhkan pada anggauta tubuh yang terdapat tattonya.
(IQNAA' I/139)
==================

والنقاء عما منع وصول ماء جسما….وليس منه طبوع عسر زواله كوشم فيعفي عنه

Diantara syarat-syarat wudhu adalah bersih dari segala hal yang dapat mencegah sampainya air pada tubuh, dan tidak tergolong mencegah sampainya air tera yang sulit dihilangkan seperti tattoo maka hukumnya dima’fu (dimaafkan)
Inaarah ad-Dujaa hal. 60
============

الكتاب : حاشية البجيرمي على الخطيب 4 / 55( الْوَشْمُ ) وَهُوَ غَرْزُ الْإِبْرَةِ فِي الْجِلْدِ حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ عَلَيْهِ نَحْوَ نِيلَةٍ لِيَخْضَرَّ أَوْ يَزْرَقَّ ا هـ ا ج .قَوْلُهُ : ( فَفِيهِ التَّفْصِيلُ الْمَذْكُورُ ) وَهُوَ أَنَّهُ إذَا فَعَلَهُ مُكَلَّفٌ مُخْتَارٌ عَالِمٌ بِالتَّحْرِيمِ بِلَا حَاجَةٍ وَقَدْرَ عَلَى إزَالَتِهِ لَزِمَتْهُ ، وَإِلَّا فَلَا .فَإِذَا فُعِلَ بِهِ فِي صِغَرِهِ أَوْ فَعَلَهُ مُكْرَهًا أَوْ جَاهِلًا بِالتَّحْرِيمِ أَوْ لِحَاجَةٍ وَخَافَ مِنْ إزَالَتِهِ مَحْذُورَ تَيَمُّمٍ فَلَا تَلْزَمُهُ إزَالَتُهُ وَصَحَّتْ صَلَاتُهُ وَإِمَامَتُهُ ، وَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ فَعَلَ الْوَشْمَ بِرِضَاهُ فِي حَالِ تَكْلِيفِهِ ، وَلَمْ يَخَفْ مِنْ إزَالَتِهِ مَحْذُورَ تَيَمُّمٍ مَنَعَ ارْتِفَاعَ الْحَدَثِ عَنْ مَحَلِّهِ لِتَنَجُّسِهِ وَإِلَّا عُذِرَ فِي بَقَائِهِ مُطْلَقًا وَحَيْثُ لَمْ يُعْذَرْ فِيهِ وَلَاقَى مَاءً قَلِيلًا أَوْ مَائِعًا أَوْ رَطْبَا نَجَّسَهُ ، كَذَا أَفْتَى بِهِ الْوَالِدُ شَرْحُ م ر .

Tatto ialah tanda pada tubuh yang dihasilkan dengan cara menusukkan jarum pada tubuh hingga mengeluarkan darah kemudian meninggalkan warna membiru atau menghijau dari bekas tusukan jarum tersebut.Hukum menghilangkan tatto bila dilakukan saat seseorang sudah mukallaf (dewasa dan berakal), tidak dipaksa, tahu keharamannya, tanpa kepentingan, bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya, bila tidak maka tidak wajib.Maka bila dilakukan saat ia masih kecil, dipaksa, tidak tahu keharamannya, karena ada keperluan, khawatir timbul bahaya yang hingga diperbolehkan baginya tayaammum maka tidak wajib menghilangkannya dan sahlah shalat serta menjadikan imam dia.Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa orang yang menjalaninya setelah ia mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan bahaya saat menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan menjalani tayammum maka terhalanglah hilangnya hadats dari tempat dari anggauta tubuh yang ditatto karena kenajisannya, bila tidak dalam ketentuan diatas (mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan bahaya saat menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan menjalani tayammum) maka dianggap udzur keberadaannya.Keberadaan tattoo yang tidak dianggap udzur bila bertemu dengan air sedikit atau barang cair lainnya atau sesuatu yang basah dapat menjadikan kenajisannya.
Bujairomi alaa al-Khothiib IV/55

Wallaahu a'lamu Bis Showaab
===============

WUDHU DAN SHOLATNYA ORANG YANG BERTATO

>> Syaif Aly
Assalamu'alaykum wr wb..
Gmn hkm tato..
Syahkah wudhu dan mndi junubx org yg pux tato..
Mhon pncrhnx..Lw da di dokumen tolong sundulin...!!

JAWABAN :

>> Mbah Jenggot Putih
Adapun waudhu dan mandinya tetap sah, sebagaimana dalam kitab Qurratul 'Ain bifatawaa Ismail Zain halaman 49 berikut:

سؤال . ماقولكم فيمن غرز فى أعضاء وضوءه او فى سائر بدنه بالإبرة مثلا ووضع محله نحو حبر للتلوين والتصوير فإذا التحم بعد ذلك فهل يصح وضوؤه وكذلك غسله اولا ؟ الجواب : نعم يصح وضوؤه وغسله مع كونه إثما بذلك الفعل يجب عليه التوبة وإزالته ان لم يؤد الى ضرر لأنه نوع من الوشم ففعله غير جائز ولكن الوضوء والغسل معه صحيحان للضرورة لأنه داخل الجلد ملتحم عليه فلا يمنع صحة الوضوء والغسل لكونه داخل البشرة والصلاة معه صحيحة للضرورة.

Terjemah fatwa Syeikh Isma'il Zain:Bagiamana pendapat anda tentang orang yang mencocok pada anggota wudhunya atau disemua badannya dengan jarum misalnya, kemudian dia meletakkan tinta ditempat yang dicocok tsb dengan tujuan mewarnai atau melukis. Ketika merapat (tumbuh daging diatasnya) setelah itu, apakah sah wudhunya, begitu juga mandinya atau tidak ?

Benar, sah wudhu dan mandinya, namun dia berdosa dengan perbuatan itu, dia wajib bertaubat, dan wajib menghilangkannya jika memang tidak mendatangkan bahaya, karena itu termasuk WASYM, yang membuatnya tidak boleh, akan tetapi wudhu dan mandi dengan keduanya sah karena darurat, karena itu didalam kulit yang telah merapat (tumbuh daging diatasnya), maka tidak menghalng-halangi sahnya wudhu dan mandi karena itu didalam kulit. Shalat dengannya sah karena darurat.
Wallaahu A'lam

http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/429131817109632/

35. الطهارة: Air sedikit "mutanajjis" berubah menjadi suci mensucikan

Imam Budi Sanjaya

AssaLaamu 'alaikum...


maaun qolilun thoohirun muthohhirun bijaryil maa'i in kaana musta'malaan ashohha fil wudh'i bi jaryil maa'i ... mohon pengertiannya?

        Hakam Trunojoyo ElChudrie >>

        air sedikit bsa menjadi air yg suci mensucikan bla d tambah dg air lagi (hinga mjd 2 kulah. Red), meski dg air musta'mal, dn bila d gunakan utk berwudhu bs mjd sah..

        Penyimulan dri fathul mu'in
        Masaji Antoro >>
        Wa'alaikumsalam

        SEPAKAT SAMA KANG Hakam Trunojoyo ElChudrie

        Ini redaksi yang di Fath al-Mu'in

        والماء القليل إذا تنجس يطهر ببلوغه قلتين ولو بماء متنجس حيث لا تغير به
        ( قوله والماء القليل إذا تنجس ) أي بوقوع نجاسة فيه وقوله يطهر ببلوغه قلتين أي بانضمام ماء إليه لا بانضمام مائع فلا يطهر ولو استهلك فيه وقوله ولو بماء متنجس أي ولو كان بلوغه ما ذكر بانضمام ماء متنجس إليه أي أو بماء مستعمل أو متغير أو بثلج أو برد أذيب

        WAL MAA-U ALQALIILU IDZAA TANAJJASA YATHHURU BI BULUUGHIHII QULLATAINI WALAU BI MAA-IN MUTANAJJISIN HAITSU LAA TAGHAYYARA BIHII

        Air sedikit bila menjadi najis bisa suci kembali dengan menjadikan ia dua qullah meskipun memakai air yang terkena najis asalkan tidak menjadikannya berubah.

        (Keterangan Air sedikit bila menjadi najis) artinya menjadi najis sebab kejatuhan najis

        (Keterangan bisa suci kembali dengan menjadikan ia dua qullah) artinya dengan menambahkan air lain padanya tidak dengan menambahkan barang cair lainnya meskipun bisa melebur dengan air.

        (Keterangan meskipun memakai air yang terkena najis) artinya meskipun penambahan untuk menjadikannya dua qullah tersebut memakai air lain yang terkena najis, atau menggunakan air musta’mal, atau air yang berubah, atau es atau embun yang telah meleleh.
        I’anah at-Thoolibiin I/34 

34. الطهارة: Rambut dan kuku wanita haidh

PERTANYAAN :

Bambang Isnadi
Apakah wanita yang sedang haid boleh bersisir dan meninggalkan rambut yang sudah jatuh lepas darinya ataukah harus disimpan dan disucikan dikala haidnya sudah berhenti?

JAWABAN :
1. Mbah Jenggot II
Seorang yang junub atau perempuan yang haid sebaiknya tidak memotong kuku, rambut atau anggota tubuh yang lainnya. Alasan dari haI ini dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dan Abu Thalib al-Makky:

وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجِناَبَتِهَا
"Tidak seyogyanya seseorang mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluannya atau membuang sesuatu dari badannya disaat dia sedang berjunub karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub. Dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada rambut tersebut." (Ihya Ulumaddin, 2/325)

Sumber kitab:
Ihyaa ‘Uluum ad Dien karya Hujjatul Islam Abu Hamid al Ghazali (wafat tahun 505 H) juz II halaman 52, cetakan Daar Ihya al Kutub al ‘Arabiyyah Mesir / juz II halaman 325, maktabah syamilah
Sumber link:
http://islamport.com/d/1/akh/1/17/40.html (1/401)

وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ يَحْلِقَ الرَّجُلُ رَأْسَهُ أَوْ يُقَلِّمَ ظُفْرَهُ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يَتَوَرَّى وَيُخْرِجَ دَمًا وَهُوَ جُنُبٌ، فَإِنَّ الْعَبْدَ يُرَدُّ إِلَيْهِ جَمِيْعُ شَعَرِهِ وَظُفْرِهِ وَدَمِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَمَا سَقَطَ مِنْهُ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ جُنُبٌ رَجَع إِلَيْهِ جُنُباً. وَقِيْلَ: طَالَبَتْهُ كُلُّ شَعْرَةٍ بِجَنَابَتِهَا
"Saya membenci seorang laki-laki mencukur kepalanya atau memotong kukunya atau mencukur bulu kemaluannya atau mengeluarkan darahnya dalam keadaan dia junub, karena seorang hamba akan dikembalikan kepadanya seluruh rambutnya, kukunya dan darahnya besok pada hari kiamat. Apa yang jatuh darinya dari hal-hal diatas dalam keadaan dia junub maka akan kembali kepadanya dalam keadaan junub. Dikatakan setiap rambut akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada rambut tersebut." (Qutil Qulub, 2/236)

Sumber kitab:
Quut al Quluub Fii Mu’aamalah al Mahbuub karya Imam Abu Thalib al Makky juz II halaman 236, maktabah syamilah
Sumber link:
http://islamport.com/d/1/akh/1/108/776.html (2/236)

Namun ulama lain tidak sependapat perihal anggota tubuh dalam alasan tersebut. Imam al-Bujairimi, mengutip pendapat al-Qalyubi, menjelaskan bahwa anggota tubuh yang dikembalikan padanya di hari kiamat adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan yang telah terpotong sebelumnya. Al-Madabighi menambahkan bahwa kuku, rambut, dan semacamnya tidak dikembalikan menyatu dengan tubuh melainkan dikembalikan dalam keadaan terpisah.

Disebutkan dalam Hasyiyah Syarwani:
قَوْلُهُ تَعُوْدُ إِلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيْهِ خِلَافٌ ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ الْمَعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ع ش
عِبَارَةُ الْبُجَيْرَمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ ، لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ ، وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قليوبي
وَعِبَارَةُ الْمَدَابِغِي قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلخ أَيْ الْأَصْلِيَّةُ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ ، فَإِنَّهُ يَعُودُ إلَيْهِ مُنْفَصِلًا عَنْ بَدَنِهِ لِتَبْكِيتِهِ أَيْ تَوْبِيخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَا يُزِيلَهُ حَالَةَ الْجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا
انتهت ا هـ .
"Ucapan Mushannif:
anggota badan kembali kepada orang tersebut di akherat
Ini adalah mengikuti pendapat bahwa anggota tubuh yang kembali tidak tertentu anggota-anggota tubuh yang asli. Didalam hal ini ada perbedaan. Berkata Imam Sa’ad didalam Syarah al Aqa’id an Nasafiyyah: “Yang dikembalikan adalah anggota-anggota tubuh yang asli yang masih ada mulai awal sampai dengan akhir umur. (‘AIN SYIIN / Ali Asy Syibramullisi).
Ibarot Al Bujairami:
Perlu dipertimbangkan dalam pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hayatnya begitu juga bukan seluruh rambutnya. Coba cek kembali. Al Qalyubi.
Ibarot al Madaabighi:
Ucapan Mushannif “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”
Maksudnya hanya anggota tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda semisal rambut dan kuku, kalau yang ini akan kembali kepada orang tersebut terpisah dari tubuhnya sebagai teguran untuknya, dia diperintah untuk tidak menghilangkannya disaat junub dan sebagainya." (Hasyiyah Syarwani, 1/284)

Sumber kitab:
Hasyiyah Syarwani juz I halaman 284, cetakan Mathba’ah Mushtafa Ahmad Mesir
Sumber link:
http://main.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=421&startno=10&start=10&idfrom=417&idto=455&bookid=20&Hashiya=2

2. Ahmad Khabibi
Memotong rambut dan menggunting kuku bagi wanita haid hukumnya makruh. Jika dikerjakan tidak mendapat dosa.
Adapun yg wajib di cuci setelah haid berhenti adalah tempat potongan rambut dan kuku bukan rambut dan kuku yg telah terpotong. jadi kalau sudah terlepas dari badan tidak perlu dicuci.

An Aresma Shori >>
Ta’bir dari kitab:

1. Nihayatuzzain:
وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًا أَوْ شَعَرًا أَوْ ظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ الْأَكْبَرُ تَبْكِيْتًا لِلشَّخْصِ
"Barang siapa yang wajib mandi maka agar tidak menghilangkan satupun dari anggota badannya walaupun berupa darah atau kuku sehingga mandi, karena semua anggota badan akan kembali kepadanya di akherat. Jika dia menghilangkannya sebelum mandi maka hadats besar akan kembali kepadanya sebagia teguran kepadanya." (Nihayatuzzain, 1/31)

Sumber kitab:
Nihayatuzzain juz I halaman 31, cetakan Al Ma’aarif Bandung / halaman 31, maktabah syamilah
Sumber link:
http://sh.rewayat2.com/fkhshafey/Web/6146/001.htm

2. Fathul Mu'in:
وَ ) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ
"Syarat yang kedua yaitu meratakan air pada seluruh anggota dzohir badan hingga kuku dan di bagian bawahnya, rambut bagian luar dan dalam, yakni tempat tumbuhnya rambut yang telah lepas sebelum mandi." (Fathul Mu'in, 1/31)

Sumber kitab:
Fat_hul Mu’in (Hamisy I’anatuththalibin juz I halaman 75, cetakan al ‘Alawiyyah) / 1/31, maktabah syamilah
Sumber link:
http://islamport.com/w/shf/Web/1226/87.htm

3. Hasyiyah Syarwani:
أَنَّ الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الْإِغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغُسْلِهَا
"Bahwasanya anggota tubuh yang terpisah sebelum mandi, janabahnya tidak hilang dengan memandikannya." (Hasyiyah Syarwani, 1/84)

Sumber kitab:
Hasyiyah Syarwani juz I halaman 84, cetakan Mathba’ah Mushtafa Ahmad Mesir
Sumber Link:
http://main.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?ID=421&startno=10&start=10&idfrom=417&idto=455&bookid=20&Hashiya=2

Catatan:
Ada juga ulama yang tidak memakruhkan.
وَقَالَ عَطَاءٌ : يَحْتَجِمُ الْجُنُبُ ، وَيُقَلِّمُ أَظْفَارَهُ ، وَيَحْلِقُ رَأْسَهُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ .
وَمَا حَكاهُ عَنْ عَطَاءٍ ، مَعْنَاهُ : أَنَّ الْجُنُبَ لَا يُكْرَهُ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ شَعَرِهِ وَظُفْرِهِ فِيْ حَالِ جَنَابَتِهِ ، وَلَا أَنْ يُخْرِجَ دَمَهُ بِحِجَامَةٍ وَغَيْرِهَا
وَلَا نَعْلَمُ فِيْ هَذَا خِلَافاً إِلَّا مَا ذَكَرَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ أَبُو الْفَرَجِ الشَّيْرَازِيِّ ، أَنَّ الْجُنُبَ يُكْرَهُ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ شَعَرِهِ وَأَظْفَارِهِ
‘Atha berkata: “Orang junub berbekam, ,mencukur kepalanya walaupun tidak berwudhu.”
Apa yang diceritakan dari ‘Atha maknanya ialah bahwasanya orang junub tidak dimakruhkan memotong rambut dan kukunya ketika dia junub, dan tidak makruh mengeluarkan darahnya dengan berbekam atau lainnya. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini keculai apa yang dituturkan sebagaian ash_hab kami yaitu Abul Faraj asy Syairazi bahwasanya orang junub makruh memotong rambut dan kuku. (Fathul Bari Li Ibni Rajab, 1/346)

Sumber kitab:
Fat_hul Bari, Syarhu Shahihil Bukhari karya al Hafizh Ibn Rajab al Hanbali juz I halaman 346, maktabah syamilah
Sumber link:
http://islamport.com/w/srh/Web/67/173.htm (2/54)
http://www.piss-ktb.com

Wallaahu A’lamu bishshawaab.

33. الطهارة: Petis dan Terasi, Najis atau Suci ?

Hudai Maulana
Pertanyaan:
assalamualaikum...mo tanya, bgmn hukumnya petis? Dan kriteria petis yg menajiskan terhadap pakaian.
PETIS DAN TERASI, NAJIS ATAU SUCI ?

Oleh : Siroj Munir


Petis adalah makanan yang dihasilan dari pengolahan kaldu / sari udang atau ikan yang diberi bumbu-bumbu,sehingga berbentuk pasta yang berwarna cokelat kehitaman dan mempunyai aroma yang khas. Petis dapat dibuat dari udang atau ikan yang masih utuh,namun terkadang juga dibuat dari sisa-sisa udang pemanfaatan limbah kepala dan kulit atau sari ikan dari pembuatan pindang.Sedangkan terasi adalah bumbu masak yang dibuat dari ikan atau udang yang difermentasikan yang berbentuk seperti pasta dan berwarna hitam coklat, kadang ditambah dengan pewarna sehingga menjadi kemerahan.

Jika terasi atau petis tersebut dibuat dari ikan yang sudah dibersihkan kotorannya tentu tak jadi persoalaan, yang jadi masalah adalah kalau ikan yang dipakai dalam pembuatan terasi atau petis itu belum dibersihkan kotorannya.Ulama’ madzhab Syafi’i berbeda pendapat dalam hukum kotoran ikan.

Pendapat pertama menghukumi najis kotoran ikan,seperti yang dikemukakan oleh Syeh Abu Hamid,.Al Qodhi Abit Thoyyib menambahkan jika kotoran ikan dihukumi suci maka jika ikan tersebut digoreng tanpa dikeluarkan kotorannya minyak goreng tersebut dihukumi mutanajjis. Pendapat yang menghukumi najisnya kotoran ikan adalah pendapat yang ashoh menurut Syeh Al Buroihami. Menurut Imam Nawawi ini adalah pendapat yang diakui dalam madzhab.Ulama Iraq dan sebagian golongan ulama’ Khurosan juga mengikuti pendapat ini, sedangan sebagian ulama’ khurosan meriwayatkan satu pendapat yang lemah bahwa kotoran ikan hukumnya suci.

Sedangkan menurut pendapat yang kedua, kotoran ikan dihukumi suci,salah satu alasan yang dikemukakan oleh pendukung pendapat ini adalah bahwa jika bangkainya dihukumi suci,maka kotorannya pun tentu dihukumi suci, karena dalam bangkai pun tentu ada kotorannya. Imam Ibnu Hajar, Imam Ziyad dan Imam Ar Romli dan ulama’ lainnya juga menyepakati ketetapan huum bahwa kotoran yang terdapat pada ikan-ian kecil dihukumi suci dan boleh dimakan,karena itu benda-benda yang terkena kotoran tersebut seperti minyak goreng tidak najis bila terkena kotoran ikan tersebut.Bahkan menurut Imam Ar Romli hukum ini juga berlaku bagi ikan yang besar. Penulis kitab Al Ibanah menilai pendapat yang menghukumi suci kotoran ikan adalah pendapat yang Ashoh,bahkan Imam Al Rosyidi menganggap bahwa pendapat yang menghukumi najis kotoran ikan adalah pendapat yang lemah, dan mengklaim bahwa pendapat yang menghuumi suci kotoran ikan adalah pendapat yang mu’tamad. Wallohu A’lam.

Referensi :
1. Al Wasith, Juz : 1, Hal : 154
2. Al Bayan, Juz : 4 hal : 525
3. Al Majmu’, Juz : 2 Hal : 550
4. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 15
5. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 15
6. Fathul Jawad, Hal : 44
7. Hasyiyah al Rosyidi Al Fathil jawad, hal : 44

1. Al Wasith, Juz : 1, Hal : 154

الثَّانِي رَوْث السّمك وَالْجَرَاد وَمَا لَيْسَ لَهُ نفس سَائِلَة فَفِيهِ وَجْهَان أَحدهمَا نجس طردا للْقِيَاس وَالثَّانِي أَنه طَاهِر لِأَنَّهُ إِذا حكم بِطَهَارَة ميتتهما فكأنهما فى معنى النَّبَات وَهَذِه رطوبات فى بَاطِنهَا

2. Al Bayan, Juz : 4 hal : 525

قال الشيخ أبو حامد: وأما السمك الهازي: وهو السمك الصغار، الذي يقلى ببغداد ولا يخرج ما في جوفه من الرجيع.. فلا يحل أكله ورجيعه فيه؛ لأن رجيعه نجس، فلا يحل أكله.
فعند الشيخ أبي حامد: روث السمك نجس وجها واحدا، وفي دمه وجهان.
وأما صاحب " الإبانة ": فقال: في روث السمك وجهان، كدمه، أصحهما: أنه ليس بنجس.
فعلى هذا: يحل أكله قبل أن يخرج.

3. Al Majmu’, Juz : 2 Hal : 550

وَقَدْ سَبَقَ أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ جميع الارواث والدرق وَالْبَوْلِ نَجِسَةٌ مِنْ كُلِّ الْحَيَوَانِ سَوَاءٌ الْمَأْكُولُ وَغَيْرُهُ وَالطَّيْرُ وَكَذَا رَوْثُ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ وَمَا لَيْسَ لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ كَالذُّبَابِ فَرَوْثُهَا وَبَوْلُهَا نَجِسَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْعِرَاقِيُّونَ وَجَمَاعَاتٌ مِنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ وَحَكَى الْخُرَاسَانِيُّونَ وَجْهًا ضَعِيفًا فِي طَهَارَةِ رَوْثِ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ وَمَا لَا نَفْسَ له سائل

4. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 15

فائدة : نقل عن البريهمي أنه قال فى الأصح أن ذرق السمك والجراد وما يخرج من فيها نجس وفى الإبانة أنه طاهر

5. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 15

وقد اتفق ابن حجر وزياد و م ر وغيرهم على طهارة ما في جوف السمك الصغير من الدم والروث ، وجواز أكله معه ، وأنه لا ينجس به الدهن ، بل جرى عليه م ر الكبير أيضاً

6. Fathul Jawad, Hal : 44

قال البندنيجي : سألت الشيخ أبا حامد عن سمك يقلى وفيه الروث هل يؤكل ؟ فقال : هو طاهر اه. وفى تعليق القاضي أبى اطيب : انه لو قلى سمكا وفى بطنه الروث تنجس الزيت بما فى بطنه من الروث وتنجس السمك اه. والصحيح الأول

7. Hasyiyah al Rosyidi Al Fathil jawad, hal : 44

قوله فقال هو طاهر : معتمد, وقوله تنجس ضعيف