الجمعة، 18 أكتوبر 2013

Jawaban Prof Dr As Sayyid Muhammad Al Maliki tentang Maulidurrasul s.a.w

Pada bulan Rabiul Awwal ini kita menyaksikan di belahan dunia islam, kaum muslimin merayakan Maulid, Kelahiran Nabi Muhammad Saw dengan cara dan adat yang mungkin beraneka ragam dan berbeda-beda. Tetapi tetap pada satu tujuan, yaitu memperingati kelahiran Nabi mereka dan menunjukkan rasa suka cita dan bergembira dengan kelahiran beliau Saw. Tak terkecuali di negara kita Indonesia, di kota maupun di desa masyarakat begitu antusias melakukan perayaan tersebut.
Demikian pemandangan yang kita saksikan setiap datang bulan Rabiul awwal.
Telah ratusan tahun kaum muslimin merayakan maulid Nabi Saw, Insan yang paling mereka cintai. Tetapi hingga kini masih ada saja orang yang menolaknya dengan berbagai hujjah. Diantaranya mereka mengatakan, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai ‘Id (Hari Raya) yang syar’i, seperti ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha. Padahal, peringatan itu, menurut mereka, bukanlah sesuatu yang berasal dari ajaran agama. Benarkah demikian? Apakah yang mereka katakan itu sesuai dengan prinsip-prinsip agama, ataukah justru sebaliknya?
Di antara ulama kenamaan di dunia yang banyak menjawab persoalan-persoalan seperti itu, yang banyak dituduhkan kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, adalah As Sayyid Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Alawi Al Maliki. Berikut ini kami nukilkan uraian dan ulasan beliau mengenai hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitab beliau Dzikrayat wa Munasabat dan Haul al Ihtifal bi Dzikra Maulid An Nabawi Asy Syarif.
Hari Maulid Nabi SAW lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada ‘Id. ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi SAW, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.
Hari kelahiran beliau lebih agung daripada ‘Id, meskipun kita tidak menamainya ‘Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa ‘Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran beliau, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Quran (turunnya AI-Quran), Isra Mi’raj, hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Fath Makkah (Penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.
Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut, di antaranya yang disebutkan oleh Prof. DR. As Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Sebelum mengemukakan dalil-dalil tersebut, beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
Pertama, kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan, terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran beliau, hari Senin. Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kalian memperingatinya?” Karena, seolah-olah ia bertanya, “Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.
Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orangorang yang hadir, memuliakan orangorang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.
Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.
Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan. Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaqnya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya, maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah, keburukan, dan fitnah.
Yang pertama merayakan Maulid Nabi SAW adalah shahibul Maulid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa berpuasa di hari Senin, beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.
Dalil-dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW .
Pertama, peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?)
Kedua, beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.
Ketiga, gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah AI-Quran. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” (QS Yunus: 58). Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).
Keempat, Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.
Kelima, peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).
Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.
Keenam, dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
Ketujuh, peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.
Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.
Kedelapan, mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.
Kesembilan, mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
Kesepuluh, dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?
Kesebelas, peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
Kedua belas, dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
Ketiga belas, Allah SWT berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami
ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ (QS Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.
Keempat belas, tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.
Kelima belas, tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.
Keenam belas, peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.
Ketujuh belas, semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
Kedelapan belas, Imam Asy-Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
Kesembilan belas, setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran, itu termasuk ajaran agama.
Keduapuluh, memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
Kedua puluh satu, semua yang disebutkan sebelumnya tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nab! SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan munkar yang tercela, yang wajib ditentang.
Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut

الثلاثاء، 15 أكتوبر 2013

Mengapa Doa-Doaku Tidak Terkabulkan?

Doa peneduh jiwa yang sedang terbalut oleh kalut, sedih dan gundah. Ia memberi ruang tersendiri bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Akan tetapi, kadang kita mengira sesuatu yang dipanjatkan itu belum juga terpenuhi, sehingga dengan sendirinya hati pun bertanya-tanya dan berkata:
“Kenapa yah, doa-doaku tidak terkabulkan? Apa yang salah dalam diri ini? Bukankah aku telah menunjukkan kehambaanku kepada-Nya dengan doa-doa itu?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah dijawab dengan jelas kedua ayat berikut ini:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥﴾ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ ﴿٥٦﴾

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.  (QS. Al-A’raf [7]: 55-56)

Hemat penulis, doa yang terkabulkan adalah doa yang mematuhi adab doa yang dijelaskan ayat di atas. Adab-adab tersebut dapat diuraikan sebagaimana berikut:

Adab pertama: Berdoa dengan penuh rendah diri dan suara lemah lembut
Para pakar tafsir berbeda dalam memaknai kata (التَّضّرُّعُ). Imam Ibn Jarir at-Thabari cenderung menafsirkannya dengan makna rendah diri, merasa hina, dan berupaya menghadirkan kedamaian hati di setiap doa.[[1]]
Penalaran ini disepakati kebanyakan penafsir yang datang setelahnya, seperti: al-Allâma Abu Hayyân, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr.[[2]]
Di lain pihak, al-Qâdhi Ibn Atiyyah menafsirkannya dengan doa yang terdengar jelas. Beliau berkata:
“Kata at-Tadarru’ (التَّضّرُّعُ) menghendaki kejelasan suara, karena kata itu sendiri tidak dipergunakan kecuali pada permintaan yang disertai dengan pelbagai isyarat dan gerakan tubuh.” [[3]]
Pemaknaan ini dilegitimasi al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr dalam pernyataannya berikut ini:
(التَّضَرُّعُ) artinya: menunjukkan kerendahan diri dengan perihal tertentu. Olehnya itu (التَّضَرُّعُ) adalah doa yang disertai dengan suara yang jelas. Inilah penafsiran yang kami pilih karena menunjukkan keserasian makna (antonim) antara kata tersebut dengan kata (الحَفِيَّة), yang artinya: berdoa dengan suara yang lemah lembut. Olehnya itu, kata penghubung (الواو) huruf (Waw) yang sering kali diartikan dengan makna (dan), di sini ia berfungsi seperti (أَوْ) huruf (Aw), yang berarti atau. Artinya: Anda boleh memanjatkan doa dengan suara yang terdengar jelas atau dengan suara yang lemah lembut (tidak ada yang mendengarkannya kecuali Anda sendiri).”[[4]]
Hemat penulis, kata (التَّضَرُّعُ) meliputi kedua pemaknaan itu. Al-Qur’an sengaja menempatkan kata tersebut untuk menyuguhkan makna ini:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Berdoalah dengan penuh kerendahan diri dan kekhusyukan, baik di waktu berdoa dengan suara yang jelas, atau dengan suara yang lemah lembut.”
Hal ini dipertegas oleh kesimpulan Ustadz Muhammad Râsyîd Ridhâ di bawah ini:
“Kedua bentuk doa itu punya waktu tersendiri. At-Tadarru’ dengan suara yang jelas bagus dan tepat di waktu menyendiri, aman dari penglihatan orang lain, sehingga mereka tidak merasa terusik dengan suara itu, dan perhatian orang yang berdoa tidak disibukkan dengan mereka dari konsentrasi membujur kepada Allah SWT, serta doanya tidak rusak dengan ria dan ujub.
Sementara itu, At-Tadarru’ dengan lemah lembut (yang hanya didengar olehnya sendiri) baik dan tepat di tempat terbuka, atau saat berada di khalayak ramai, seperti: Masjid dan di tempat yang menghidupkan syiar-syiar agama, kecuali pada waktu yang dibolehkan mengangkat suara, seperti: talbiyah di haji, takbir di kedua shalat Id. Itu boleh karena pelaksanaan ibadah-ibadah seperti ini dikerjakan secara saksama dan jauh dari puji diri.” [[5]]
Olehnya itu, ayat ini ditutup dengan firman-Nya:
(إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِيْن)
Maksudnya, dalam kondisi bagaimanapun, Anda tidak dibolehkan melampaui batas yang wajar dalam berdoa. Di antara hal yang tidak diperbolehkan dalam berdoa telah dicontohkan alQâdhi Ibn Atiyyah berikut ini:
“Kalimat tersebut meskipun maknanya umum, tetapi karena ia dalam konteks doa, maka ia mengisyaratkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam berdoa. Di antara hal tersebut, seperti: berteriak-teriak meminta. Ini telah diperingatkan Rasul Saw kepada kaum yang terlalu membesarkan suara pada saat takbir, beliau bersabda: (Wahai manusia, rendahkanlah suaramu, sesungguhnya engkau tidak berdoa kepada yang tuli, atau kepada yang gaib).[[6]]Dan yang lainnya lagi, seperti: meminta kedudukan yang sederajat dengan nabi, atau meminta sesuatu yang mustahil terjadi, serta berdoa melakukan kemaksiatan.”[[7]]
Kata (المُعْتَديْن) yang melampaui batas dapat juga menjadi teguran terhadap mereka yang memahami bahwa doa itu tidak lain kecuali sarana memenuhi segala keinginan. Telaah mendalam seperti ini telah diperlihatkan Syekh Mutawalli as-Sya’râwî berikut ini:
“Hindarkan diri Anda untuk tidak berdoa kecuali ingin memenuhi hajat semata!
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[
[8]]
Hematnya, tujuan doa memperlihatkan kehambaan kita kepada Allah SWT, diterima atau tidaknya doa tersebut itu permasalahan kedua. Karena jika ia terkabulkan, maka itu adalah karunia-Nya, dan jika tidak terkabulkan itu pun karunia-Nya. Di sana ada kemaslahatan di balik penerimaan, penolakan, dan penundaan dari terkabulkannya doa yang jauh dari pengetahuan manusia sendiri.

Adab kedua: Jangan melakukan kerusakan di bumi!
Al-Qâdhi Ibn Atiyyah berkata:
“Firman-Nya:  (وَلاَ تُفْسِدُوْا فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا)cakupannya sangat umum, meliputi segala bentuk kerusakan, baik yang besar atau kecil, setelah adanya perbaikan. Olehnya itu, tujuan pelarangan tersebut bersifat umum, dan tidak boleh dijustifikasi buta terhadap satu jenis kerusakan, karena hukum seperti ini menyalahi seruan tersebut.”[[9]]
Di antara bentuk kerusakan yang sering dipaparkan Al-Qur’an dalam konteks doa, perilaku sebagian kelompok yang kembali kepada kesesatan setelah doanya terkabulkan dari sebuah bencana dan kesulitan. Ini tercatat dengan begitu apik di ayat-ayat berikut ini:
­Ayat pertama: Dan ketika mereka ditimpa azab mereka pun berkata: (Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhamnu dengan kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat mengangkat azab itu dari kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu). Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya.(QS. Al-A’raf [7]: 134-135]
Di ayat lain firman-Nya: Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.(QS. Yunus [10]: 12)
Hemat penulis, telah jelas bahwa faedah doa bukan hanya terbatas dari hajat yang terpenuhi seketika itu, tetapi bagaimana menjaga kemurahan dan karunia Allah tersebut supaya tidak pergi dengan sendirinya. Tentunya, tidak ada cara lain untuk menjaganya kecuali tetap berada di jalan Allah. Apalah artinya doa yang terkabulkan pada suatu waktu, tetapi di waktu-waktu lain kita kembali terjerumus dalam kemungkaran dan kemaksiatan. Faedah doa bukan hanya ingin dilihat hari ini dan esok, tetapi faedahnya ingin dipetik di akhirat. Doa yang berkah doa yang senantiasa mengatakan seperti ini:
“Wahai diriku yang terkabulkan doanya! Aku sebenarnya enggan menyuguhkan kenikmatan ini jika di lain hari engkau kembali mengingkari Tuhanmu. Jagalah nikmat ini dengan tidak kembali menengok dunia hitam, apalagi jatuh di lembah kemaksiatan! Aku ingin senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat, bukan hanya sehari, kemudian melupakan Sang Maha Pemberi yang telah menjadikan aku fasilitas gratis guna mendekatkan dirimu kepada-Nya.”

Adab ketiga dan keempat: takut doa tidak diterima dan berharap penuh dikabulkan
Makna ini dijustifikasi Syekh al-Alûsî sebagai makna yang banyak dipilih oleh pakar tafsir. Beliau berkata:
“Firman-Nya: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: berdoalah dengan penuh rasa takut dari doa yang tidak mustajab karena ketidaklayakan Anda untuk menjadi orang-orang yang doanya mustajab, dan jangan pernah putus asa untuk senantiasa berharap penuh terhadap jawaban-Nya sebagai karunia untukmu dari-Nya. Inilah pilihan kebanyakan mufassir.”[[10]]
Di lain sisi, Syekh Mutawalli as-Sya’rawî memaparkan makna yang cukup luas, beliau berkata:
“Di sini Al-Qur’an menjelaskan adab lain berdoa, yaitu: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: takutlah dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (القَهَّارُ)  yang Maha Menaklukkan, dan berharaplah dengan segenap harapan dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (الغَفَّارُ) yang Maha Pengampun, dan (الرَّحِيْمُ)  yang Maha Pengasih. Berdoalah dengan penuh rasa takut dari segala bentuk ketergantungan sifat keperkasaan-Nya, dan berharaplah mendapatkan karunia dari segala bentuk ketergantungan sifat keindahan dan kemurahan-Nya.” [[11]]
Hemat penulis, kedua teks tersebut saling melengkapi dalam memberikan sebuah pemaknaan. Karena jika doa terkabulkan, maka segala aneka karunia dan kenikmatan yang ada di khazanah sifat-sifat keindahan dan kemurahan-Nya tercurahkan dengan sendirinya melebihi volume curah hujan. Akan tetapi, jika doa tidak terkabulkan, maka dengan sendirinya pula turun azab yang datang dari keperkasaan dan keagungan-Nya.
Olehnya itu, kedua kelompok kata yang ada pada ayat itu mustahil dipisahkan, demi terciptanya pemaknaan yang apik dan sempurna. Maha Suci Allah yang telah memilih kosa kata Al-Qur’an dan menempatkannya di tempat yang layak untuknya, pemilihan dan penempatan yang jauh dari kesanggupan para ahli bahasa.
Di penghujung tulisan singkat ini, saya yakin pemerhati tema-tema keislaman dengan mudah menyimpulkan apa yang ada di atas dan berkata:
“Doa adalah otak ibadah, tetapi tidak semua doa punya ketinggian derajat seperti itu. Doa yang sampai ke derajat itu adalah doa yang mustajab. Doa mustajab doa yang dipanjatkan dengan penuh rendah diri dan khusyuk, takut tidak diterima serta berharap penuh dikabulkan. Doa mustajab itu bukan hanya hasilnya dipetik hari ini. Akan tetapi ia senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat. Carilah dengan doa karunia dan kenikmatan-Nya yang ada pada khazanah sifat keindahan dan kemurahan-Nya, dan hindari dengan doa pula azab-Nya yang ada pada sifat keperkasaan-Nya!”

Catatan Kaki:
[1] Lihat: Imam Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari, vol. 12, hlm. 485
[2] Lihat: al-Allâma Abu Hayyân, al-Bahru al-Muhîth, vol. 4, hlm. 312, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr, Tafsir Ibn Katsîr, vol. 6, hlm. 321
[3] Lihat: al-Qâdhi Ibn Atiyyah, al-Muharrâr al-Wajîz, vol. 2, hlm. 410
[4] Lihat: al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 8, hlm. 172
[5] Ustad Muhammad Râsyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, vol. 8, hlm. 457
[6] Hadit ini dikeluarkan Imam al-Bukhârî di Shahîhnya dari Abi Musa al-Asyarî r.a, kitab as-Siyar wa al-Jihad, bab Mâ Yukrah min Raf’i as-Shawt fi at-Takbîr, hadits, no. 2992, hlm. 824
[7] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[8] Syekh Mutawalli as-Sya’râwî, Tafsir as-Sya’râwî, vol. 7, hlm. 4174
[9] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[10] Lihat: Syekh al-Alûsî, Ruhul Maânî, vol. 8, hlm. 140
[11] Lihat: Syekh Mutawalli as-Sya’rawî, Op.Cit, vol. 7, hlm. 4180

الأربعاء، 9 أكتوبر 2013

Mukjizat di Balik ke-Ummi-an Rasulullah SAW

بسم الله الرحمن الرحيم

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (1) هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2) وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (3) ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (4

"Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Jumuah : 1-4).
Semua makhluk yang ada di dunia ini membaca tasbih kepada Allah Swt. Mereka mensucikan Allah dari perkara yang tidak pantas bagi-Nya. Pambacaan tasbih dari makhluk tadi, adakalanya yang diketahui manusia, dan ada yang hanya diketahui oleh Allah. Semuanya yang membaca tasbih tadi mempunyai manfaat, baik yang sudah diketahui atau yang belum diketahui manusia.
Kadang ada sesuatu kalau dilihat secara zahirnya itu merupakan perkara yang jelek. Akan tetapi, pada hakikatnya dia mempunyai manfaat. Misalnya, pencuri dan penipu. Dari keduanya ini akan menimbulkan suatu manfaat. Yaitu, mengharuskan adanya polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam suatu negara.
Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang ummi, tidak bisa membaca dan menulis atau buta huruf. Ummi dalam istilah Jawa bisa dikatakan "aduh embok." Namun, di balik ke-ummi-an Rasulullah Saw ini mengandung suatu mukjizat dan manfaat yang agung.Yaitu, Al-Quran bukanlah buatan Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, meskipun Nabi Muhammad Saw adalah nabi yang ummi, tetapi beliau dapat melihat Lauhul Mahfudz. Suatu anugrah yang tidak dimiliki selain Nabi Muhammad Saw. Maka dari itu, kita tidak boleh menghina ke-ummi-an Rasulullah Saw tadi.
Makkah yang merupakan kota kelahiran Rasulullah Saw itu juga disebut ummi. Hal ini disebabkan kota Makkah mulai zaman dahulu sampai sekarang selalu digunakan sebagai Ibu Kota umat Islam. Keistimewaan Makkah sebagai Ummil Qura itu berbeda dengan ibu kota yang lainnya. Contoh kecilnya adalah kerajaan Majapahit, tatkala kerajaannya sudah hancur, ibu kotanya juga ikut hancur.
Meskipun Nabi Muhammad Saw merupakan nabi yang ummi, namun beliau itu adalah keturunan orang-orang yang mulia, keturunan bangsawan. Dalam istilah pewayangan orang yang bangsawan disebut keturunan bangsa Arya. Beliau adalah keturunan Nabi Ibrahim As. Kesukuan Arya Rasulullah Saw hanya diperoleh dari jalur Nabi Ibrahim saja. Sedangkan Sayyidah Hajar, bukanlah keturunan bangsa Arya. Berbeda dengan Nabi Ishaq As. Beliau itu keturunan bangsa Arya dari jalur ayah dan ibunya. Yaitu, Nabi Ibrahim As dan Sayyidah Sarah.
Kehadiran Nabi Muhammad Saw itu diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh Bani Hasyim, sebuah kabilah yang kaumnya cuma sedikit yang bisa membaca dan menulis. Berbeda dengan Bani Abdi Syam, yang merupakan rival dari Bani Hasyim. Mereka sudah maju dalam dunia membaca dan menulis.
Tatkala Bani Abdi Syam belum banyak yang masuk Islam, penulisan wahyu Allah dilakukan sahabat hanya dengan ala kadarnya. Namun, tatkla Bani Abdi Syam banyak yang masuk Islam, penulisan Al-Quran metodenya bertambah maju. Sebab, ada salah satu keturunan Bani Abdi Syam yang ikut menjadi katib Rasulullah Saw untuk menulis wahyu. Yaitu, Muawwiyah bin Abi Sofyan.
Bani Abdi Syam, memanglah kabilah yang maju dalam dunia pendidikannya. Khadijah saja berguru kepada kabilah Abdi Syam. Beliau berguru kepada Waraqah bin Naufal. Dari gurunya ini, Khadijah menjadi sosok perempuan yang alimah. Beliau mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi yang telah ditunggu-tunggu oleh semua manusia.
Sarang, 21 Mei 2012
Catatan : Artikel ini disarikan dari pengajian Syaikhina Maimoen Zubair pada saat Ngaji Ahadan pada 13 Mei 2012 dengan kajian surat Jumu'ah ayat 1-4.

Mari Bermadzhab : Dialog Al Bouti vs Al-Bani

Assalamualaikum..
Setiap orang apabila menemui suatu masalah fiqiyah, pilihanya hanya dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sambil terus mencari dalil yang dapat menjawab atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid terdahulu.
Pilihan berijtihad tidak diperuntukan kesemua orang karena tidak mungkin semua orang harus menggunakan waktunya untuk mencari, berfikir, mempelajari perangkat2 ijtihad yang akan memakan waktu lama. Ijtihad tidak bisa hanya sekedar membaca satu-dua buku, apalagi buku terjemahan, dan bahkan tanpa guru yang memiliki sanad keilmuan. Bila itu terjadi maka rusaklah syareat agama.

Berikut adalah potongan perdebatan mengenai ijtihad ini antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouthi dengan Syaikh Nashirudin Al Bani tokoh pemuka Salafi-Wahabi yang terkenal berfaham anti mazhab. Diskusi ini diambil dari kitab Syeikh Al Bouthi yang berjudul "Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah" - Faham tak bermazhab adalah bid'ah paling berbahaya yang dapat menghancurkan syariat Islam".
Berikut adalah isi Jalanya diskusi tersebut:

Al-Bouti : Bagaimana cara anda memahami hukum Allah ? Apakah anda langsung mengambil dari Al-Qur’an dan Sunnah ataukah anda mengambilnya dari para imam mujtahid ?

Al-Bani: Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya kemudian saya akan mengambil keterangan yang dalilnya paling mendekati Al-Qur’an dan Sunnah.

Al-Bouti : Seandainya anda mempunyai uang 5000 Lira Syria dan uang tersebut anda simpan selama enam bulan, lalu anda menggunakannya membeli barang-barang untuk diperdagangkan. Kapankah anda membayar zakat harta perdagangan tersebut ? Apakah setelah enam bulan kedepan ataukah setelah satu tahun ?

Al-Bani : Maksud tuan apakah harta perdagangan itu wajib dizakati ?

Al-Bouti : Saya sekedar bertanya dan saya berharap anda menjawabnya dengan cara anda sendiri. Perpustakaan ada didepan anda. Disitu terdapat kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits dan juga kitab-kitab para imam mujtahidin.

Al-Bani: Hai Saudaraku ! Ini adalah masalah agama, bukan soal mudah yang dapat dijawab seketika. Memerlukan waktu untuk mempelajarinya dengan seksama (teliti). Kedatangan kami kesini adalah untuk membahas masalah yang lain !  

Al-Bouti : Baiklah..! kami ingin bertanya Apakah setiap muslim wajib menyelidiki dalil-dalil para imam mujtahid kemudian mengambil mana yang lebih cocok dengan Al-Qur’an dan hadits ?

Al-Bani: Ya benar !

Al-Bouti : Kalau begitu semua orang harus memiliki kemampuan ijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab. Bahkan mereka harus memiliki kemampuan yang lebih sempurna karena orang-orang yang mampu memutuskan pendapat para imam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sudah barang tentu lebih pandai dari semua imam itu.

Al-Bani : Sesungguhnya manusia itu ada tiga macam : Mukallid, Muttabi’ dan Mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab kemudian memilih mana yang lebih dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah adalah Muttabi’ yakni pertengahan antara Mukallid dan Mujtahid.

(Al-bani menyebut muttabi' berada diantara muqallid dan mujtahid, tapi kapasitas muttabi disini menjadi lebih unggul dari mujtahid, karena mujtahid sendiripun tidak membanding-bandingkan mazhab, menyaring pendapat imam mazhab lalu memutuskan pendapat para imam mazhab tersebut sesuai dengan Al-Quran dan sunnah. inilah yang dimaksud Al Bouthi sebagai "Sudah tentu lebih pandai dari semua imam itu" Tapi Albani tidak menjawab peratnyaan Al Bouthi, apakah setiap orang islam harus sedekimian itu)

Al-Bouti : Apa sebenarnya kewajiban Mukallid ?
Al-Bani : Dia taqlid kepada imam mujtahid yang cocok dengannya.

Al-Bouti : Apakah berdosa jika ia taqlid kepada seorang imam secara terus menerus dan tidak mau pindah kepada imam yang lain ?

Al-Bani : Ya, hal itu hukumnya haram !

Al-Bouti : Kalau yang demikian itu haram, apakah dalilnya ?

Al-Bani : Dalilnya adalah karena dia menetapi sesuatu yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah ‘azza wajalla.

Al-Bouti : Dari tujuh macam qiro’at, qiro’at apa yang anda pakai untuk membaca Al Qur’an ?

Al-Bani : Qiro’at imam Hafash .

Al-Bouti : Apakah anda selalu membaca Al Qur’an dengan qira’at imam Hafash ataukah anda membaca Al Qur’an setiap harinya dengan qiro’at yang berbeda-beda ?

Al-Bani : Tidak, saya selalu membaca Al-Qur’an dengan qiro’at imam Hafash saja.


(golongan anti madzhab ini sendiri memegang satu macam qiro’at dari tujuh macam yang ada, mengapa mereka tidak mengharamkan hal ini ?, sedangkan golongan selain golongannya bila memegang satu amalan dari satu madzhab terus menerus maka mereka haramkan, beginilah sifat mereka selalu membenarkan golongannya sendiri dan mensesatkan golongan lainnya bila tidak sepaham dengan mereka, walaupun tidak ada dalil yang mengharamkannya ! pen.) .

Al-Bouti : Mengapa anda selalu menetapi qiro’at imam Hafash ?, sedangkan menurut riwayat yang diterima dari Nabi saw. secara mutawatir bahwa Allah hanya mewajibkan anda untuk membaca Al-Qur’an !

Al-Bani : Karena saya belum mempelajari qiro’at-qiro’at yang lain dengan sempurna. Dan tidak mudah bagi saya untuk membaca Al Qur’an kecuali dengan qiro’at imam Hafash !

Al-Bouti : Demikian pula halnya dengan orang yang mempelajari fiqh menurut madzhab Syafi’i. Dia juga tidak cukup sempurna dalam mempelajari madzhab-madzhab yang lain dan tidak mudah baginya untuk mempelajari hukum agama selain dari madzhab Syafi’i. Kalau anda mewajibkan kepadanya untuk mengetahui ijtihad para imam dan mengambil semuanya, ini berarti anda pun wajib mempelajari semua qiro’at itu. Kalau anda beralasan tidak mampu, maka begitu juga halnya si mukallid tadi. Singkatnya kami ingin mengatakan, apa alasan anda sehingga mewajibkan para mukallid untuk berpindah-pindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain ?, sedangkan Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian ! Artinya sebagaimana Allah swt. tidak pernah mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab secara terus-menerus, begitu juga Allah tidak pernah mewajibkan untuk terus menerus pindah satu madzhab ke madzhab yang lain !

Al-Bani : Sesungguhnya yang haram itu ialah kalau seseorang mempunyai I’tikad (keyakinan) bahwa Allah memerintahkannya untuk terus-menerus menetapi madzhab tertentu.
Al-Bouti : Ini masalah lain dan itu memang benar, tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi apakah ia berdosa kalau terus-menerus mengikuti imam tertentu sedangkan dia juga tahu bahwa Allah tidak pernah mewajibkan yang demikian kepadanya ?

Al-Bani : Kalau seperti itu tidaklah dia berdosa ! 

 Al-Bouti: Tetapi buku Syeikh Khajandi yang anda pelajari itu menyebut- kan hal yang berbeda dengan apa yang anda katakan. Khajandi secara tegas mengharamkan yang demikian bahkan pada beberapa bagian dari buku itu ia menyatakan kafir kepada orang yang terus-menerus mengikuti seorang imam tertentu dan tidak mau pindah kepada yang lain !

Al-Bani : Mana…,? Selanjutnya ia berpikir tentang tulisan Syeikh Khajandi yang berbunyi : “Bahkan siapa saja yang mengikuti seorang imam secara terus-menerus dalam setiap masalah, maka dia termasuk orang fanatik yang salah serta telah taqlid secara membabi buta dan dialah orang yang telah mencerai-beraikan agama dan menjadikan diri mereka berkelompok-kelompok”. Lalu dia berkata bahwa yang dimaksud dengan mengikuti secara terus-menerus disitu adalah mengi’tikadkan wajibnya yang demikian dari sudut pandang agama. Didalam pernyataan itu terdapat pembuangan.

Al-Bouti: Apakah buktinya kalau Syeikh Khajandi itu bermaksud demikian? Mengapa anda tidak mengatakan bahwa Syeikh Khajandi itu telah melakukan kesalahan ?
(Terhadap pertanyaan Syeik Sa’id ini kelompok anti madzhab itu tetap bersikeras bahwa apa yang dikatakan Syeikh Khajandi itu benar karena didalam ucapannya itu terdapat pembuangan kalimat.)

Al-Bouti melanjutkan : Akan tetapi meskipun anda memperkirakan adanya pembuangan kalimat pada ucapan Syeikh Khajandi itu (yakni kalimat apabila dia mengi’tikadkan wajibnya mengikuti seorang imam secara terus menerus ) tetap saja ucapan tersebut tidak memiliki makna apa-apa karena setiap muslim mengetahui bahwa seorang imam tertentu dari keempat imam madzhab itu bukanlah termasuk kewajiban syari’at melainkan atas dasar pilihan orang itu sendiri.

Al-Bani: Bagaimana bisa demikian ? Saya mendengar dari banyak orang dan juga dari sebagian ahli ilmu bahwa diwajibkan secara syari’at mengikuti madzhab tertentu secara terus menerus dan tidak boleh berpindah kepada madzhab yang lain !

Al-Bouti : Coba anda sebutkan kepada kami nama satu orang saja dari kalangan awam atau ahli ilmu yan menyatakan demikian ! (Terhadap permintaan Syeikh Sa’id ini kelompok anti madzhab itu terdiam sejenak. Ia heran kalau-kalau ucapan Syeikh Sa’id itu benar, dan dia [anti madzhab] pun mulai ragu-ragu tentang kebenaran atas pernyataannya sendiri yakni perkataan mereka bahwa sebagian besar manusia mengharam kan berpindah-pindah madzhab.).

Selanjutnya Al-Bouti mengatakan : Anda tidak akan menemukan satu orangpun yang beranggapan keliru seperti ini. Memang pernah diriwayatkan bahwa pada masa terakhir Dinasti Utsmaniyyah mereka keberatan kalau ada orang yang bermadzhab Hanafi pindah kemadzhab lain. Hal ini kalau memang benar adalah termasuk fanatik buta yang tercela.

Hanya Dua Kategori!
Al-Bouti :Dari mana Anda mengetahui perbedaan antara muqallid dan muttabi'?

Al-Bani:Perbedaannya ialah dari segi bahasa,


(Lalu Al-Buthi mengambil kitab-kitab bahasa agar Al-Albani dapat menetapkan perbedaan makna bahasa darl dua kalimat tersebut, tetapi la tidak menemul apa-apa. Al-Buthi kembali melanjutkan pembicaraan).

Al-Bouti :Sayyidina Abu Bakar RA pernah berkata kepada seorang Arab badwi yang menentang pajak dan perkataannya ini diakui segenap sahabat, "Apabila para muhajirin telah rela, hendaknya kalian menyepakatinya (mengikuti)."
Abu Bakar mengatakan taba'un (mengikuti), yang berarti muwafaqah (menyepakati).


Al-Bani: Kalau begitu, perbedaan makna kedua kata tersebut adalah dari segl istilah, dan bukan hak saya untuk membuat suatu Istilah. 

Al-Bouti :Silakan saja Anda membuat istilah, tetapi Istilah yang Anda buat tetap tak akan mengubah hakikat sesuatu. Orang yang Anda sebut muttabi', kalau ia mengetahui dalil dan cara melakukan istinbath darinya, berarti ia seorang mujtahid. Tetapi apabila orang itu dalam suatu masalah tidak tahu dan tidak mampu ber-istinbath, berarti ia mujtahid dalam sebahagian masalah dan muqallid dalam masalah lain. Oleh karena itu, bagaimanapun juga pembahagian tingkatan seseorang hanya ada dua macam, mujtahid dan muqallid. Ini hukumnya sudah cukup jelas dan telah diketahui.
Al-Bani: Sesungguhnya muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, kemudian menguatkan salah satu daripadanya. Tingkatan ini berbeda dengan taqlld.

Al-Bouti : Kalau yang Anda maksudkan "membedakan pendapat para imam mujtahid ialah membedakan mana yang kuat dan mana yang lemah dari segi dalil, berarti tingkat ini adalah lebih tinggi dari ijtihad (lebih unggul darl Imam mujtahid). Apakah Anda mampu berbuat demikian?

Al-Bani:Saya akan melakukannya sejauh kemampuan saya.

(Kata-kata Al-Albani itu sesungguhnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa la mempunyai kemampuan lebih tinggi dari para imam ijtihad, sebab ia mampu membedakan pendapat mujtahidin dan dalil-dalilnya, meski dengan catatan: "sejauh kemampuan saya". Al-Buthi rhencoba mengangkat contoh kasus yang akan menunjukkan kekeliruan cara pandang sepertl itu).

Talak Tiga: Contoh Kasus 

Al-Bouti : Kami mendengar Anda telah berfatwa bahwa talak tiga yang dljatuhkan dalam satu kesempatan yang jatuh satu talak saja. Apakah sebelum menyampai-kan fatwa Anda talah meneliti pertdapat para Imam madzhab serta dalil-dalil me¬reka, kemudian Anda memilih salah satu dari pendapat mereka lalu baru Anda berfatwa?
Ketahullah bahwa Uwalmlr Al-ljlanl telah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya di hadapan Rasulullah SAW. Se-telah ia bersumpah li’an dangan istrinya, ia barkata, "Saya jadi berbohong kepadanya, ya Rasulullah, blla saya menahannya, dan saya jatuhkan talak tiga." Bagaimana pengetahuan Anda tentang hadlts inl dan kedudukannya dalam masalah Ini, serta pengertianya menurut madzhab sebagian besar ulama dan menurut madzhab Ibnu Taimiyyah?


Al-Bani:Saya belum pernah melihat hadits Ini.


Al-Bouti : Bagaimana Anda bisa memfatwakan suatu masalah yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati keempat imam madzhab, padahal Anda belum mengetahui dallil-dalil mereka, serta tingkatan kekuatan dalll-dalltnya? Kalau begitu Anda telah menlnggalkan prinsip yang Anda anut, yaitu ittiba', menurut istilah yang Anda katakan sendiri. (Ya, jawaban Al-Albani bertentangan dengan pemyataan awalnya sendiri, "Saya akan meneliti pendapat para imam mujtahid serta dalil-dalilnya, kemudian saya mengambil keterangan yang paling mendekati dalil Al-Qur'an dan sunnah." Berikutnya, la pun memberikan alasan akan hal itu).

Al-Bani:Pada waktu itu saya tidak memiliki kitab yang cukup untuk melihat dalil dari imam-imam madzhab.

Al-Bouti : Kalau begitu apa yang mendorong Anda tergesa-gesa memberi fatwa yang menyelisihi pendapat jumhur kaum muslimin padahal Anda belum memeriksa dalil-dalll mereka?

Al-Bani: Apa yang harus saya perbuat ketika saya ditanya mengenai masalah tersebut sedangkan kitab yang ada pada saya terbatas sekali?

Al-Bouti : Sesungguhnya cukup bagi Anda untuk mengatakan "Saya tidak tahu tertang masalah ini", atau Anda terangkan saja pendapat madzhab empat kepada si penanya serta pendapat mereka yang berbeda dengan madzhab empat imam harus memberlkan fatwa kepadanya dangan salah satu pendapat yang demikian ini sudah cukup untuk Anda dan memang sampai di situlah kewajlban anda. Apatah lagi masalah itu tidak langsung berkaitan dengan diri Anda mengapa bisa sampai Anda berfatwa dengan pendapat yang menyalahi Ijma' keempat imam tanpa mengetahui dalil-dalil yang dijadlkan hujjah oleh mereka, dengan Anda menganggap cukup pada dalil yang ada di plhak yang bertentangan dengan madzhab yang empat. Anda berada di puncak kefanatikan sebagaimana yang selalu Anda tuduhkan kepada kami.

Al-Bani: Saya telah menelaah pendapat ke-empat-empat imam dalam Subul as-Salam, karya Asy-Syaukani, dan Flqh as-Sunnah, karya Sayyid Sabiq.

Al-Bouti : Kitab yang Anda sebutkan adalah kitab yang memusuhi keempat imam madzhab dalam masalah ini. Apakah Anda rela menjatuhkan hukuman kepada salah seorang tertuduh hanya dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi dan keluarganya tanpa mendengarkan keterangan lain dari tertuduh?

Al-Bani:Saya kira, apa yang telah saya lakukan tak patut dicela. Saya telah berfatwa kepada orang yang bertanya, dan itulah batas kemampuan pemahaman saya.
Al-Bouti : Anda telah menyatakan sebagai muttabi dan kita semua hendaknya menjadi muttabi'. Anda telah menafsirkan bahwa ittiba' ialah meneliti semua pendapat madzhab dan mempelajari dalil-dalil yang dikemukakan, ialu mengambil mana yang paling mendekati dalil yang benar. Namun apa yang telah Anda lakukan ternyata bertolak belakang.
Anda mengetahui, madzhab yang empat telah ijma’ bahwa talak yang dijatuhkan tiga sekaligus berarti jatuh tiga. Anda mengetahui bahwa keempat imam madzhab mempunyai dalil tentang masalah ini, hanya saja Anda belum mendapatinya. Namun demikian, Anda berpaling dari ijma' mereka dan mengambil pendapat yang sesuai dengan keinginan Anda. Apakah Anda sejak mula telah yakin bahwa dalil-dalil keempat imam madzhab ttu tidak dapat diterima?


Al-Bani:Tldak, cuma saya tidak mendapal nya karena saya tidak memiliki kitab-kitab tersebut.

Al-Bouti : Mengapa Anda tidak mau menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa pada-hal Allah SWT tidak memaksakan Anda untuk berbuat demikian? Apakah karena Anda tldak mendapati dalil-dalil -para ulama jumhur yang dapat digunakan sebagai alasan untuk menguatkan pendapat Ibnu Taimlyyah? Apakah fanatik yang Anda anggap dusta itu tidak lain ialah apa yang Anda telah lakukan?

Al-Bani:Pada kitab-kitab yang ada pada saya, saya telah mendapatkan dalil-dalil yang cukup memuaskan dan Allah tidak membebani saya lebih dari itu.

Al-Bouti : Apabila seorang muslim mendapati satu dalil dalam kitab yang dibacanya, apakah cukup dengan dalil tersebut ia meninggalkan semua mazhab yang berbeda dengan pemahamannya sekalipun ia belum mendapati dalil-daiil madzdzhab-madzhab tersebut?

Al-Bani: Ya, cukup.

Seorang Muallaf; sebuah analog
Al-Bouti :Ada seorang pemuda yang baru saja memeluk agama Islam, la sama sekali tak mengetahui pendldlkan agama Islam, Laiu ia membaca firman Allah 'Azza wa Jaffa, yang artinya, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat; maka ke mana pun kamu menghadap, dsitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi) Maha Mengetahui." QS Al-Baqarah 115. Pemuda tersebut lalu beranggapan bahwa setiap orang yang hendak shalat boleh menghadap ke arah mana saja sebagaimana dttunjukkan oleh zhahirnya redaksi ayat Al-Quran Itu.
Kemudian ia mendengar bahwa keempat imam madzhab telah bersepakat bahwa seorang yang shalat harus meng¬hadap Ka'bah. la sadar, para imam mempunyal dalil untuk masalah ini, hanya saja ia belum mendapatlnya. Apakah yang harus dilakukan oleh pemuda tersebut sewaktu la hendak mengerjakan shalat? Apakah cukup dengan menglkutl panggiian hatinya karena la telah menemukan ayat Al-Qur'an tersebut, atau ia harus menglkutl pendapat para imam yang berbeda dengan pemahamannya?


Al-Bani: Cukup dengan menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti :Meskipun dengan menghadap ke arah tlmur misalnya? Apakah shalatnya dianggap sah?

Al-Bani:Ya, karena ia wajib menglkuti panggilan hatinya.

Al-Bouti :Andai kata panggilan hati pemuda itu mengilhaml dlrinya sehingga ia merasa tidak apa-apa berbuat zina dengan istri tetangganya, memenuhi perutnya dengan khamar dan merampas harta manusla tanpa hak, apakah Allah akan memberlkan syafa'at kepadanya lantaran panglllan hatinya itu?

(Terdiam sejenak, laiu berkata): Al-Bani: Sebenarnya contoh-contoh yang Tuan tanyakan hanyalah khayalan dan tidak ada buktinya.

Al-Bouti : Bukan khayalan atau dugaan semata-mata, bahkan selalu terjadl hal se-perti itu ataupun lebih aneh lagi.

Bagaimana tidak begitu, seorang pemuda yang tak punya kelayakan pengetahuan tentang Islam, Al-Qur’an dan sunnah, kemudian membaca sepotong ayat Al-Qur'an yang ia pahami menurut apa adanya. la kemudian berpendapat boleh saja shalat menghadap ke arah mana saja meskipun ia tahu bahwa shalat harus menghadap kiblat. Pada kasus Ini apakah Anda tetap berpendirian bahwa shalatnya sah karena manganggap cufcup dengan aclanya bisikan hati nurani atau panggilan jiwa si pemuda tersebut?
Di samping itu, menurut Anda, bisikan hati, panggiian jiwa, dan kepuasan moril dapat memutuskan segala urusan (dijadikan sumbar untuk mangeluarkan hukum). Kenyataan ini jeias bertantangan dengan prinsip Anda bahwa manusia terbagi atas tiga kelompok: mujtahid, muqallid, dan muttabi’ (karena dengan modal panggilan hati itu nyatanya semua manusia adalah muttabi’/mujtahld, termasuk si muallaf tadi).


Al-Bani:Semestinya pemuda itu membahas dan meneliti. Apakah ia tidak mambaca hadits atau ayat lainnya?


Al-Bouti :la tidak memiliki cukup bahan untuk mambahas sebagaimana halnya Anda ketika membahas ihwal masalah talak. ia tak sempat membaca ayat-ayat lain yang berhubungan dengan masalah kiblat selain di atas. Dalam hal ini apakah ia tetap harus mengikuti bisikan hatinya dengan meninggalkan ljma' para ulama?
Al-Bani:Memang seharusnya begitu kalau ia tidak mampu membahas dan menganalisis. Baginya cukuplah berpegang pada hasil pikirannya sendiri dan ia tidaklah salah.

(Pandangan ini jelas manyimpan potensi yang membahayakan. Itulah mengapa Ai-Buthi sampai menulis sebuah kitab berjudul Al-la Madzhabiyah Akhthar Bid'ah Tuhaddid asy-Sari'ah al-lslam-iyah - Paham tak Bermadzhab adalah Bid'ah Paling Barbahaya yang dapat Menghancurkan Syariat islam. Betapa tidak? Bayangkan saja, saandainya para muallaf atau orang-orang islam awam membuka lembaran-lembaran AI-Quran, lalu membaca Surah At-Tawbah ayat ke-5, yang artinya, "Bunuhlah mereka (orang-orang musyrik) di mana saja kamu menjumpai mereka", atau ayat-ayat yang redaksinya semacam Itu, lalu orang-orang tersebut tak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang makna ayat tersebut dan serta merta bertekad bulat akan memenuhl panggiian hatinya untuk “menjalankan perintah Allah" ini, dapatkah Anda membayangkan apa yang akan terjadi?
Tak aneh bila banyak pengamat menllai bahwa embrio radikalisme acap bermula dari paham ala tekstualis seperti ini. Rupanya matoda pokok istinbath (penylmpulan) hukum salah satu tokoh pemuka al-la madzhabiyyah (non-mazhab) Ini adalah mengikuti panggiian hati. Dan cocoklah klranya bila klta menamai madzhab" ala Al-Albani Ini dangan madzhab panggiian hati”).

Al-Bouti :Ucapan Anda ini amat sangat berbahaya dan mengejutkan. Kami akan siarkan.

Al-Bani:Silakan Tuan menyiarkan pendapat saya dan saya tidak takut.

Al-Bouti :Bagalmana Anda akan takut kepada saya sedangkan Anda tldak takut kepada Allah SWT? Sesungguhnya dengan ucapan tersebut Anda telah membuang firman Allah SWT, yang artinya, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mangetahuf - OS-An Nahi: 43.
Al-Bani: Tuan, para imam tidaklah ma’shum - terpelihara dari kesalahan. Bolehkah ia (si muallaf) meninggalkan yang ma'shum (Maksudnya nash-nash agama sepertl Al qur’an dan hadlts Rasulullah SAW) dan berpegang pada orang yang tidak ma'shum? 


Al-Bouti :Yang terpelihara dari kesalahan adalah makna yang hakiki yang dikehendaki Allah Azza wa Jaila daiam firman-Nya, yang artinya, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat" Akan tetapi pemahaman pemuda yang jauh sekali dari pendidikan Islam sama sekali tidak ma'shum?
jadi masalahnya ialah perbandingan antara dua pemahaman, yaitu pemahaman atau pemikiran seorang pemuda yang jahil dengan pemahaman atau pemikiran para Imam mujtahiddln, yang keduanya tidak ma'shum. Perbedaannya hanyalah yang satu terlalu jahil dan yang satu lagi sangat dalam ilmunya.

Al-Bani:Sesungguhnya Allah SWT tidak membebaninya melebihi kemampuannya.

Dokter don Brosur: Analog! Lainnya

Al-Bouti :Tolong Jawab pertanyaan ini. Sese orang mempunyai anak kecil yang sedang saklt panas. Menurut saran semua dokter yang ada di kota Itu, la harus diberi obat khusus dan mereka melarang orangtua ai anak untuk mengobatinya dengan antlbiotik. Mereka pun telah memberi tahu kepada orangtua si anak bahwa, sekiranya saran ini dilanggar, mungkin saja Itu menyebabkan kematian si anak, Suatu ketika si orangtua membaca selebaran brosur ks\esehatan dan manemukan keterangan bahwa antibiotik terkadang barmanfaat untuk mengobati saklt panas. Berdasarkan isi selebaran itu, orangtua tersebut tidak memperhatikan lagi saran dokter, Dengan panggilan hatinya, ia merawat anaknya dengan antibiotik hingga mangakibatkan kematian si anak, Dengan tindakan ini, apakah orangtua tersebut berdosa atau tidak?

Al-Bani: Saya kira, masalah itu lain dengan masalah ini dan maksudnya pun berbeda dengan persoalan yang sectang kita bicarakan. (Di sini tampaknya Al-Albani gagal menangkap analogi yang sederhana Ini. Lalu, bagalmana ia mampu membanding-kan hujjah-huijah para imam madzhab?)

Al-Bouti :Masalah ini pada hakikatnya sama dengan hat yang tengah kita bicarakan.
Coba Anda perhatikan. Orangtua tersebut sudah mendengarkan ijma (kesepakatan) para dokter, sebagaimana pe¬muda tadi juga telah mendengar ijma' para ulama. Akan tetapi lantaran tak tahu landasan dan teori-teori medis dunia kedokteran) orangtua itu bepegang pada brosur kesehatan yang ia baca dan hatinya kemudian condong padanya, sebagalmana pemuda tersebut melaksanakan panggilan hatinya.


Al-Bani:Tuan, Al-Quran adalah nur (cahaya). Nur AI-Qur'an tidak dapat disamakan dengan yang lain. 


Al-Bouti :Apakah pantulan cahaya Al-Qur'an itu dapat dipahami oleh setiap yang membaca Al-Qur'an dengan pemahaman yang tepat sebagaimana yang dlkehendakl Allah SWT? Kalau begitu, apa bedanya antara ahli ilmu dan yang bukan ahli ilmu dalam menerima cahaya Al-Qur'an?
Al-Bani:Panggilan hati adalah yang paling asas/pokok,

Al-Bouti :Orangtua tersebut telah melaksanakan panggilan hatinya hingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah ada pertanggungjawaban bagl orangtua itu baik dari sagi syari'at maupun tuntunan hukum?

Al-Bani:Dia tidak dituntut apa-apa. 

Al-Bouti :Dengan pernyataan Anda seperti ini, saya kira diskusi ini kita cukupkan saja sampai di sinl. Sudah putus jalan untuk menemukan pendapat kami dengan Anda. Dengan Jawaban Anda yang sangat ganjil itu, cukuplah kiranya kalau Anda talah kaluar dari ijma' kaum muslimin.

(Demikian ucap Al-Buthl mengakhiri diskusinya dengan Al-Albani. Dari jawaban terakhir Al-Albani, tampaknya Al-Buthi telah menangkap sesuatu sehingga ia merasa tak perlu lagi memperpanjang pembicaraan).
Sumber: Majalah Alkisah 

الثلاثاء، 9 أبريل 2013

12. كتاب الصلاة: Kenapa bacaan qunut "Fainnaka taqdi" sampai "Astaghfiruka" dibaca pelan

Pertanyaan :
Aku mau numpang tanya lagi, kenapa kok do'a qunut pas "fa innaka taqdli" sampai dengan "astaghfiruka" imam selalu pelan suaranya ?
Tolong dikasih penjelasan dan ta'birnya, suwun

( Dari : Bang Choiry )


Jawaban :
Bacaan qunut mulai dari "Fainnaka taqdhi wala yuqdho 'alaik" sampai sebelum "astaghfiruka wa'atubu ilaik" adalah bentuk dzikir dan pujian bagi Alloh subhanahu wata'ala, bukan merupakan do'a, bagi ma'mum diperbolehkan diam ketika imam membacanya atau ikut membacanya bersama imam, namun yang lebih utama adalah ma'mum ikut membacanya. Nah, karena ma'mum dianjurkan untuk ikut membacanya, maka imam tidak perlu membacanya dengan keras, cukup dibaca dengan pelan seperti halnya dzikir-dzikir lain yang sama-sama dibaca oleh imam dan ma'mum (seperti bacaan tasbih ketika rukuk dan sujud). Namun menurut sebagian ulama' imam tetap membacanya dengan keras seperti halnya saat berdo'a meminta rohmat dan dijauhkan dari neraka atau yang lainnya.

Jadi sebenarnya masalah ini masih diperselisihkan diantara ulama', sebagian ulama' tetap menganjurkan bagi imam untuk membacanya dengan keras, sedangkan menurut sebagian ulama' menganjurkan untuk membacanya dengan pelan karena imam dan ma'mum sudah membacanya sendiri-sendiri. Wallohu a'lam.

( Oleh : Siroj Munir )


Referensi :
1. Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 502
2. Nihayatul Muhtaj, Juz : 1  Hal : 507


Ibarot :
Al-Majmu', Juz : 3  Hal : 502

وأما الثناء وهو قوله فإنك تقضي ولا يقضى عليك إلى آخره فيشاركه في قوله أو يسكت والمشاركة أولى لأنه ثناء وذكر لا يليق فيه التأمين

Nihayatul Muhtaj, Juz : 1  Hal : 507

و) أنه (يقول الثناء) سرا وهو من فإنك تقضي إلى آخره، أو يستمع له لأنه ثناء وذكر لا يليق به التأمين والمشاركة أولى كما في المجموع، والثاني يؤمن فيه أيضا، وإذا قلنا بمشاركته فيه ففي جهر الإمام به نظر، يحتمل أن يقال: يسر به كما في غيره مما يشتركان فيه، ويحتمل وهو الأوجه الجهر به كما إذا سأل الرحمة أو استعاذ من النار ونحوها فإن الإمام يجهر به ويوافقه فيه المأموم ولا يؤمن كما قاله في المجموع

11. كتاب الصلاة: Sholat Yang bisa dikerjakan diatas kendaraan

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Shalat apa sajakah yang bisa dilakukan didalam kendaraan..?
Tolong sertakan pula referensinya ya....
Terima kasih,

( Dari : Ibnu Malik )


Jawaban :
Wa’alaaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Sholat yang bisa dilakukan diatas kendaraan adalah sebagai berikut :

1. Sholat sunat
Semua sholat sunat, termasuk sholat rowatib (sholat sunat qobliyah dan ba’diyah) bisa dikerjakan diatas kendaraan tanpa harus menghadap kiblat, jadi sholatnya menghadap ke arah tujuan kendaraan itu berjalan. Dalilnya adalah beberapa hadits nabi, diantaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar :

كَانَ يُصَلِّي سُبْحَتَهُ حَيْثُمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ نَاقَتُهُ

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan sholat sunnah kearah manapun hewan tunggangannya menghadap.” (Shohih Muslim, no.700)

2. Sholat fardhu
Sholat wajib 5 waktu juga boleh dikerjakan diatas kendaraan apabila kendaraannya sedang berhenti, sholatnya bisa dikerjakan dengan sempurna dan dikerjakan dengan menghadap kiblat. Sedangkan apabila kendaraannya berjalan maka tidak diperbolehkan. Diantara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari jabir bin Abdulloh :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ، حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ

“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam mengerjakan sholat diatas tunggangannya kemanapun menghadapnya, dan jika beliau hendak mengerjakan sholat fardhu beliau turun kemudian (sholat dengan) menghadap kiblat.” (Shohih Bukhori, no.400)

Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir )


Referensi :
1. Fathul Wahhab, Juz : 1  Hal : 42 – 43
2. Fathul wahhab, Juz : 1  Hal : 44


Ibarot :
Fathul Wahhab, Juz : 1  Hal : 42 – 43

فلمسافر) سفرا مباحا (تنفل) ولو راتبا صوب مقصده كما يعلم مما يأتي (راكبا وماشيا) «لأنه - صلى الله عليه وسلم - كان يصلي على راحلته في السفر حيثما توجهت به» أي في جهة مقصده رواه الشيخان وفي رواية لهما «غير أنه لا يصلي عليها المكتوبة

Fathul wahhab, Juz : 1  Hal : 44

ولو صلى) شخص (فرضا) عينيا أو غيره (على دابة واقفة وتوجه) القبلة (وأتمه) أي الفرض فهو أعم من قوله وأتم ركوعه وسجوده (جاز) ، وإن لم تكن معقولة لاستقراره في نفسه (وإلا) بأن تكون سائرة أو لم يتوجه أو لم يتم الفرض (فلا) يجوز لرواية الشيخين السابقة ولأن سير الدابة منسوب إليه بدليل جواز الطواف عليها فلم يكن مستقرا في نفسه

10. كتاب الصلاة: Hukum menjawab adzan yang bersamaan atau silih berganti

Pertanyaan :
Assalamualaikum
Ustadz mohon dibantu,
Kan kita ketahui bahwa perkara menjawab panggilan adzan adalah fardhu kifayah
bagaiaman ketika misal dalm suatu kampung banyak yang adzan dan kadang posisinya tidak bersamaan hingga ketika misal kita sudah menjawab adzan yang pertama. Apa tetap kita wajib menjawab adzan di mesjid yang lain karena kekawatiran tidak ada yang mejawab ?

( Dari : Restu Iqbaliyahh Ginanjar )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Pertama, Perlu diketahui bahwa hukum menjawab adzan menurut madzhab Syafi'i dan mayoritas ulama' adalah sunat, kecuali menurut pendapat sebagian ulama' salaf yang mewajibkannya. Dalil kesunatan menjawab adzan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdulloh bin Amr bin Ash rodhiyallohu 'anhu;

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ

"Jika kalian mendengar orang yang sedang adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang ia ucapkan." (Shohih Muslim, no.384)

Kedua, Apabila terdengar suara adzan secara bersamaan, maka yang sunat dijawab adalah salah satu dari adzan tersebut.

Ketiga, Apabila suara adzan yang didengar itu banyak namun bergantian, maka semuanya sunat untuk dijawab, hanya saja adzan yang pertama didengar yang lebih dikuatkan kesunatannya untuk dijawab dan makruh apabila tidak dijawab.

( Dijawab oleh : Kudung Khantil Harsandi Muhammad, Siroj Munir dan Achmad Al-fandaniy )


Referensi :
1.Al-Majmu', Juz : 3 Hal : 119
2. Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 174
3. Hasyiyah Al-Jamal Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 308-309


Ibarot :
Al-Majmu', Juz : 3 Hal : 119

فرع : إذا سمع مؤذنا بعد مؤذن هل يختص استحباب المتابعة بالأول أم يستحب متابعة كل مؤذن فيه خلاف للسلف حكاه القاضي عياض في شرح صحيح مسلم ولم أر فيه شيئا لأصحابنا والمسألة محتملة والمختار أن يقال المتابعة سنة متأكدة يكره تركها لتصريح الأحاديث الصحيحة بالأمر بها وهذا يختص بالأول لأن الأمر لا يقتضي التكرار وأما أصل الفضيلة والثواب في المتابعة فلا يختص والله أعلم
فرع : مذهينا أن المتابعة سنة ليست بواجبة وبه قال جمهور العلماء وحكى الطحاوي خلافا لبعض السلف في إيجابها وحكاه القاضي عياض

Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 174

و) سن. (لسامعهما) أي: لسامع المؤذن والمقيم قالوا، ولو محدثا حدثا أكبر. (مثل قولهما) لخبر مسلم «إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول ثم صلوا علي» ويقاس بالمؤذن المقيم وهو من زيادتي
...................................
قوله: أي: لسامع المؤذن والمقيم) فلو كثر المؤذنون قال: ابن عبد السلام يجيب كل واحد بإجابة لتعدد السبب وإجابة الأول أفضل إلا في الصبح والجمعة فهما سيان؛ لأنهما مشروعان م ر فإن أذنوا معا كفى إجابة واحد منهم ولا تسن إجابة أذان نحو الولادة وتغول الغيلان ولو ثنى حنفي ألفاظ الإقامة أجيب مثنى سم شوبري

Hasyiyah Al-Jamal Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 308-309

وإذا سمع مؤذنا بعد مؤذن فالمختار أن أصل الفضيلة في الإجابة شامل للجميع إلا أن الأول متأكد يكره تركه وقال العز بن عبد السلام إن إجابة الأول أفضل إلا أذاني الصبح فلا أفضلية فيهما لتقدم الأول ووقوع الثاني في الوقت وإلا أذاني الجمعة لتقدم الأول ومشروعية الثاني في زمنه - عليه الصلاة والسلام - ومما عمت به البلوى ما إذا أذن المؤذنون واختلطت أصواتهم على السامع وصار بعضهم يسبق بعضا. وقد قال بعضهم لا تستحب إجابة هؤلاء والذي أفتى به الشيخ عز الدين أنه يستحب إجابتهم اهـ شرح م ر وفي ق ل على الجلال، وأما الأذان الأول في الجمعة فقد حدث في زمان الإمام عثمان - رضي الله تعالى عنه
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

9. كتاب الصلاة: Langkah-langkah yang dilakukan wanita yang mengeluarkan darah istihadhoh sebelum sholat

Pertanyaan :
Asslmu'alaikum wr.wb..
Bagaimanakah langkah yang harus dilakukan seorang wanita yang sedang mengeluarkan drh istiqadh, cukup dengan membersihkan darahnya kemudian berwudhu atau harus mandi karena hadas besar setiap kali mau sholat, wanita tersabut cukup mengerjakan ibadah yang wajib aja atau boleh mengerjakan juga yang sunah?
Mohon referensinya. terimakasih

( Dari : Bilqis Aulia Jasmine )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh tidak perlu mandi, sebelum melakukan sholat, cukup membersihkan darahnya dan wudhu, setelah itu mengerjakan sholat. Sholat yang boleh dikerjakan dengan wudhunya hanya satu sholat fardhu, sedangkan untuk sholat sunat tidak dibatasi, boleh mengerjakan beberapa sholat sunat dengan satu wudhu.

Secara rinci, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh wanita yang sedang mengeluarkan darah haidh sebelum melakukan sholat adalah sebagai berikut ;

1. Menyucikan badan atau pakaian yang terkena darah.

2. Menaruh semisal kapas pada tempat keluarnya darah untuk menyumbat darahnya agar tidak keluar. Namun menaruh kapas pada tempat keluarnya darah itu tidak boleh dilakukan orang yang sedang puasa, karena dapat membatalkan puasanya, begitu juga hal tersebut tidak wajib dilakukan bagi wanita yang merasa sakit apabila menaruh kapas pada tempat keluarnya darah. Apabila kapas itu tidak cukup bisa mencegah darah keluar maka wajib menambahkan kain atau pembalut .

3.Setelah itu, jika waktu sholat sudah masuk, diwajibkan segera berwudhu, dan wudhunya harus dilakukan setelah waktu sholat masuk, tidak boleh dilakukan sebelum masuknya waktu sholat. Ada dua hal yang membedakan antara wudhu wanita istihadhoh dan wudhu pada umumnya, yaitu :

•    A.Niat wudhunya tidak seperti wudhu pada umumnya yang menggunakan niat "lirof'il hadatsi" (untuk menghilangkan hadats), karena wudhunya wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhoh tidak menghilangkan maka niat wudhunya sebelum melakukan sholat adalah :

NAWAITUL WUDHU'A LISTIBAHATIS SHOLATI FARDHON LILLAHI TA'ALA

"Saya niat wudhu agar diperbolehkan melakukan sholat..."

Atau bisa juga dengan niat secara umum, maksudnya entah itu mau sholat atau melakukan hal-hal lain yang diharuskan wudhu dahulu, yaitu :

NAWAITUL WUDHU'A LISTIBAHATI MUFTAQIRIN ILA WUDHU'IN FARDHON LILLAHI TA'ALA

"Saya niat wudhu agar diperbolehkan melakukan perkara yang membutuhkan wudhu'..."

•    Ketika wudhu, diwajibkan untuk muwalah (terus menerus) dalam membasuh dan mengusap anggota badannya. Maksud dari muwalah adalah pembasuhan atau pengusapan anggota badan dilakukan sebelum anggota badan yang dibasuh atau diusap sebelumnya kering. Hal ini yang membedakannya dengan wudhu pada umumnya dimana muwalah hukumnya sunah, sedangkan untuk wanita yang sedang mengeluarkan istihadhoh, muwalah dalam wudhu hukumnya wajib.

4. Setelah wudhu, diwajibkan untuk segera melakukan sholat dan tidak boleh mengakhirkannya kecuali apabila mengakhirkannya karena melakukan hal-hal yang berkaitan dengan sholat, seperti menjawab adzan, melakukan sholat sunat qobliyah atau menunggu dimulainya sholat jama'ah.

Semua hal diatas dilakukan setiap kali akan melakukan sholat fardhu, termasuk mengganti kapas dan pembalutnya, atau mencuci kain yang dipakai sebagai pembalut sebelumnya.Dan bila semua hal diatas sudah dilakukan, maka sholat yang dikerjakan sah dan tidak usah mengqodho' (mengulaingi)nya lagi. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Siroj Munir )


Referensi :
1. At-Taqrirot Asy-Syadidah, Hal : 171
2. Minhajut Tholibin, Hal : 12
3. Mugnil Muhtaj, Juz : 1  Hal : 281-283


Ibarot :
At-Taqrirot Asy-Syadidah, Hal : 171

الأحكام العامة للمستحاضة
تختلف المستحاضة عن الحائض والنفساء, فالمستحاضة يجب عليها أن تصلي, وصلاتها صحيحة ولا قضاء عليها, وإذا حل رمضان وجب يجب عليها الصوم, ويجوز لزوجها أن يأتيها ولو مع سيلان الدم

الخطوات التي تتخذها المستحاضة إذا أرادت الصلاة
يجب عليها أن تتطهر من النجاسة الدم وغيره
يجب عليها الخشو في موضع خروج الدم بقطن أو نحوه, إلا غذا كانت تتأذى, أو كانت صائمة, لأن ذلك يفطرها, ويجب عليها التعصب إن لم يكف الحشو
يجب عليها المبادرة بعد ذلك بالوضوء, وشرطه أن يكون بعد دخول الوقت, والموالة فيه
يجب عليها المبادرة إلى الصلاة, فلا يجوز تأخيرها, إلا إذا كان التأخير لمصلحة الصلاة كإجابة مؤذن ونافلة قبلية وانتظار جماعة

Minhajut Tholibin, Hal : 12

فروضه ستة أحدها: نية رفع حدث أو استباحة مفتقر إلى طهر أو أداء فرض الوضوء ومن دام حدثه كمستحاضة كفاه نية الاستباحة دون الرفع على الصحيح فيهما

Mugnil Muhtaj, Juz : 1  Hal : 281-283

والاستحاضة حدث دائم كسلس، لا تمنع الصوم والصلاة، فتغسل المستحاضة فرجها وتعصبه، وتتوضأ وقت الصلاة، وتبادر بها فلو أخرت لمصلحة الصلاة كستر وانتظار جماعة لم يضر، وإلا فيضر على الصحيح ويجب الوضوء لكل فرض، وكذا تجديد العصابة في الأصح
...................................
ثم لما فرغ من أحكام الحيض شرع في بيان الاستحاضة وحكمها فقال (والاستحاضة) وقد تقدم تعريفها ويأتي فيها مزيد بيان، فإن قيل: قوله: (حدث دائم) ليس حد الاستحاضة وإلا لزم كون سلس البول استحاضة، وليس كذلك وإنما هو بيان لحكمها الإجمالي أي حكم الدم الخارج بالصفة المذكورة حكم الحدث الدائم، وقوله (كسلس) بفتح اللام أي سلس البول والمذي والغائط والريح هو للتشبيه لا للتمثيل. أجيب بعدم لزوم ما ذكر لأنه إنما حكم على الاستحاضة بأنها حدث دائم ولا يلزم من ذلك أن سلس البول ونحوه استحاضة، وقوله: كسلس مثال للحدث الدائم (فلا تمنع الصوم والصلاة) وغيرهما مما يمنعه الحيض كسائر الأحداث؛ للضرورة، ولأمره - صلى الله عليه وسلم - حمنة بهما وكانت مستحاضة كما صححه الترمذي. ثم شرع في بيان حكمها التفصيلي فقال: (فتغسل المستحاضة فرجها) قبل الوضوء أو التيمم إن كانت تتيمم (و) بعد ذلك (تعصبه) بفتح التاء وإسكان العين وتخفيف الصاد المكسورة على المشهور بأن تشده بعد غسله بخرقة مشقوقة الطرفين تخرج أحدهما من أمامها والأخرى من خلفها وتربطهما بخرقة تشدها على وسطها كالتكة: فإن احتاجت في رفع الدم أو تقليله إلى حشو بنحو قطن. وهي مفطرة ولم تتأذ به وجب عليها أن تحشو قبل الشد والتلجم، وتكتفي به إن لم تحتج إليهما. أما إذا كانت صائمة أو تأذت باجتماعه فلا يجب عليها الحشو، بل يلزم الصائمة تركه إذا كان صومها فرضا، فإن قيل: لم حافظوا هنا على مصلحة الصوم لا على مصلحة الصلاة عكس ما فعلوا فيمن ابتلع بعض خيط قبل الفجر وطلع الفجر وطرفه خارج فهلا سووا بينهما؟ . أجيب بأن الاستحاضة علة مزمنة فالظاهر دوامها، فلو راعينا الصلاة هنا لتعذر قضاء الصوم للحشو، ولأن المحذور هنا لا ينتفي بالكلية فإن الحشو تنجس وهي حاملته بخلافه ثم. تنبيه ظاهر كلام المصنف وغيره تعين غسل فرجها. قال الأذرعي: لكن قضية كلام المصنف في الاستنجاء إجزاء الحجر في الأظهر، وصرح به في التنقيح هناك. قال: ولعل مرادهم هنا ما إذا تفاحش بحيث لا يجزئ الحجر في مثله من المعتاد (و) بعد ذلك (تتوضأ) وتجب المبادرة به أو ببدله عقب الاحتياط، ولذلك قيل: لو عبر بالفاء لكان أولى ويكون ذلك (وقت الصلاة) لأنه طهارة ضرورة فلا تصح قبل الوقت كالتيمم، وقد سبق بيان الأوقات في بابه فيجيء هنا جميع ما سبق ثم. قاله في المجموع: فدخل في ذلك النوافل المؤقتة فلا تتوضأ لها قبل وقتها وهو كذلك، ولا يفهم من ذلك أنه يمتنع عليها أن تجمع بين نوافل بوضوء كما قيل لما سيأتي أنه يجب الوضوء لكل فرض (و) بعد ما ذكر (تبادر بها) أي بالصلاة وجوبا تقليلا للحدث؛ لأنه يتكرر منها وهي مستغنية عنه بالمبادرة بخلاف المتيمم السليم لانتفاء ما ذكر. أما غير السليم فالحكم فيه كما هنا (فلو أخرت لمصلحة الصلاة كستر) لعورة وأذان وإقامة (وانتظار جماعة) واجتهاد في قبلة وذهاب إلى مسجد وتحصيل سترة (لم يضر) لأنها لا تعد بذلك مقصرة. فإن قيل: كيف يصح التمثيل بأذان المرأة مع أنه غير مشروع لها؟ . أجيب بأنه محمول على الإجابة وبأن تأخيرها للأذان لا يستلزم أذانها، ولو اعتادت الانقطاع بقدر ما يسع الوضوء والصلاة اهـ. فانقطع وجب عليها المبادرة ولا يجوز لها التأخير لجماعة ولا لغيرها (وإلا) بأن أخرت لا لمصلحة الصلاة كأكل وشرب وغزل وحديث (فيضر) التأخير (على الصحيح) فيبطل وضوءها فتجب إعادته وإعادة الاحتياط لتكرر الحدث والنجس مع استغنائها عن احتمال ذلك بقدرتها على المبادرة، والثاني: لا يضر كالمتيمم. قال في المجموع: وحيث أوجبنا المبادرة. قال الإمام: ذهب ذاهبون من أئمتنا إلى المبالغة واغتفر آخرون الفصل اليسير، وضبطه بقدر ما بين صلاتي الجمع اهـ. وينبغي اعتماد الثاني، وخروج الدم بلا تقصير منها لا يضر. فإن كان خروجه لتقصير في الشد ونحوه كالحشو بطل وضوءها وكذا صلاتها إن كانت في صلاة، ويبطل أيضا وضوءها بالشفاء وإن اتصل بآخره (ويجب الوضوء لكل فرض) ولو منذورا كالمتيمم لبقاء الحدث، وإنما جوزت الفريضة الواحدة للضرورة، وخرج بالفرض النفل فلها أن تتنفل ما شاءت بوضوء، وتقدم أن صلاة الجنازة حكمها حكم النافلة (وكذا) يجب لكل فرض (تجديد العصابة) وما يتعلق بها من غسل وحشو (في الأصح) قياسا على تجديد الوضوء، والثاني: لا يجب تجديدها؛ لأنه لا معنى للأمر بإزالة النجاسة مع استمرارها، ومحل الخلاف إذا لم يظهر الدم على جوانب العصابة ولم تزل العصابة عن موضعها زوالا له وقع وإلا وجب التجديد بلا خلاف؛ لأن النجاسة قد كثرت مع إمكان تقليلها
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com

8. كتاب الصلاة: Aturan fiqih mengenai shof/barisan sholat jama'ah

Pertanyaan :
Assalamu'alaiku¬m...
Bagaimana penjelasan shof sholat menurut fiqih dan hadits? lalu bagaimana hukumnya sholat tersebut bila shofnya tidak teratur? syukron¬.

( Dari : Binyake Cah Thegal )


Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

ATURAN PENEMPATAN MAKMUM

Penjelasan mengenai shof/barisan makmum ketika sholat berjama'ah yang berupa aturan penempatan shof berdasarkan keterangan ulama' dan hadits-hadits nabi adalah sebagai berikut :

1.Jika makmumnya hanya satu orang lelaki saja, maka makmum tersebut bertempat disamping kanan imam, posisinya agak sedikit dibelakang imam, tidak sejajar atau terrlalu jauh. Dan dimakruhkan bagi makmum tersebut bertempat disebelah kiri, karena itu disunatkan bagi imam untuk memindahkan makmum yang bertempat disebelah kanan kiri untuk kesebelah kanan dengan menghindari melakukan gerakan yang membatalkan sholat.

Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma :

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَأْسِي مِنْ وَرَائِي، فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ

“Aku pernah sholat bersama Rosulullah di suatu malam, aku berdiri di samping kiri beliau, kemudian Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam menarik kepalaku dari belakang dan meletakkanku di samping kanan beliau.” (Shohih Bukhori, no.726 dan Shohih Muslim, no.763)

2.Apabila makmumnya berjumlah diua orang, baik keduanya adalah lelaki yang sudah dewasa atau masih anak-anak, atau keduanya adalah anaka-anak maka kedua makmum tersebut bertempat dibelakang imam

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu :

أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ، دَعَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ، فَأَكَلَ مِنْهُ، ثُمَّ قَالَ: «قُومُوا فَأُصَلِّيَ لَكُمْ»، قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَقُمْتُ إِلَى حَصِيرٍ لَنَا قَدِ اسْوَدَّ مِنْ طُولِ مَا لُبِسَ، فَنَضَحْتُهُ بِمَاءٍ، فَقَامَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَفَفْتُ أَنَا، وَالْيَتِيمُ وَرَاءَهُ، وَالْعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا، فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ انْصَرَفَ

"Bahwa neneknya, Mulaikah, mengundang Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam untuk menghadiri hidangan yang ia masak untuk beliau. Beliau kemudian menyantap makanan tersebut kemudian bersabda: "Berdirilah, aku akan pimpin kalian shalat." Anas berkata, "Maka aku berdiri di tikar milik kami yang sudah lusuh dan hitam akibat sering digunakan. Aku lalu memercikinya dengan air, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri diatasnya. Aku dan seorang anak yatim lalu membuat barisan di belakang beliau, sementara orang tua (nenek) berdiri di belakang kami. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam lalu sholat memimpim kami sebanyak dua rakaat lalu pergi." (Shohih Muslim, no.657)

3.Apabila setelah sholat jama'ah telah dilaksanakan anatara seorang imam dan seorang makmum, kemudian datang satu makmum lagi, maka makmum yang baru datang tadi menempati sebelah kiri imam, setelah itu apabila didepan imam masih ada tempat sedangkan dibelakang makmum sudah tidak ada tempat lagi, maka imamnya maju sedikit, dan apabila dibelakang makmum masih ada tempat sedangkan didepan imam sudah tidak ada tempat lagi, maka kedua makmum tersebut yang mundur sedikit. Sedangkan apabila didepan imam masih ada tempat dan dibelakang makmum juga masih ada tempat maka kedua makmum tersebutlah yang mundur menurut pendapat yang dianggap shohih oleh Syekh Abu Hamid dan mayoritas ulama' madzhab syafi'i, namun menurut pendapat yang Imam Al Quffal dan Qodhi Abut Thoyyib imamnya lah yang maju kedepan. Hal ini (imamnya yang maju atau ma'mumnya yang mundur) dilakukan apabila makmum tersebut datang saat berdiri dan sesudah takbirotul ihrom, apabila datangnya saat tahiyyat atau sujud maka imam hal tersebut tidak dilakukan.

Diriwayatkan dari sahabat jabir rodhiyallohu 'anhu :

قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا، فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

"Aku berdiri di sisi kiri Rosulullah shollallohu 'alaihi wasallam, maka beliau memegang tanganku lalu memutarku sehingga beliau menempatkanku disisi kanannya. Kemudian Jabbar bin Shokhr datang lalu ia berwudlu, lalu ia datang dan berdiri di sisi kanan Rasulullah Saw, beliau lalu memegang kedua tangan kami lalu mendorong kami dan menempatkan kami dibelakang beliau." (Shohih Muslim, no.3010)

4.Apabila jama'ahnya banyak,ada orang yang sudah dewasa dan ada juga anak yang masih kecil, maka menurut pendapat mayoritas ulama' laki-laki dewasa bertempat dibagian depan dan anak-anak dibelakang, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam :

لِيَلِيَنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

"Hendaknya yang menempati posisi setelahku di antara kalian adalah orang-orang yang sabar dan berakal, kemudian orang yang setelahnya, kemudian orang yang setelahnya." (Sunan Turmudzi, no.228, Sunan Nasa'i, no.807, Sunan Ibnu Majah, no.976 dan Shohih Ibnu Hibban, no.3172)

Sebagian ulama' memiliki pendapat berbeda dalam masalah ini, mereka berpendapat posisi anak kecil diapit oleh dua orang laki-;laki yang sudah dewasa, dengan tujuan untuk mengajari anak kecil tersebut cara sholat yang benar, pendapat ini diriwayatkan oleh Syekh Abu Hamid, Syekh Al Bandaniji, Qodhi Abut-Thoyyib dan yang lainnya. Namun pendapat ini dijawab bahwa meskipun anak-anak bertempat dibelakang, mereka masih bisa belajar cara sholat yang benar dari makmum laki-laki dewasa yang berada didepannya.

5.Apabila selain makmum laki-laki terdapat  juga makmum perempuan, maka makmum perempuan bertempat dibelakang makmum perempuan.

6.Apabila selain laki-laki dan perempuan terdapat makmum banci, maka makmum banci bertempat dibelakang makmum laki-laki dan didepan makmum perempuan.

7.Apabila makmumnya terdiri dari laki-laki dewasa dan anak-anak, perempuan dan juga banci, maka urutannya laki-laki dewasa berada dibarisan terdepan, dibelakangnya anak-anak, lalu banci, dan paling belakang adalah wanita.

Semua aturan mengenai urutan penempatan shof sholat jama'ah diatas hukumnya sunat, jadi apabila aturan diatas tidak diikuti tidak sampai membatalkan sholat jama'ah.


MELURUSKAN SHOF/BARISAN

Sedangkan penjelasan mengenai shof sholat jama'ah secara umum adalah mengenai masalah  meluruskan barisan. Mayoritas ulama' berpendapat bahwa meluruskan barisan ketika mengerjakan sholat jama'ah hukumnya sunat, yang dimaksud meluruskan barisan disini adalah posisi antara satu makmum dengan makmum lain yang menempati barisan yang sama lurus, tidak ada makmum yang posisinya lebih maju dari makmum lainnya, selain itu antara pundak dan kedua telapak kaki satu makmum dengan makmum yang lainnya saling menempel sehingga tak ada celah pada barisan tersebut. Dan disunatkan bagi imam untuk memerintahkan agar para makmum yang mengikuti sholat jum'at meluruskan barisan sebelum sholat jama'ah dimulai sebagaimana yang dilakukan oleh Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam. Dalam beberapa hadits diriwayatkan Nabi memerintahkan para jama'ah yang hadir untuk meluruskan barisan mereka dengan mengatakan :

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَةِ

"Luruskan barisan-barisan kalian, karena sesungguhnya meluruskan barisan adalah bagian dari mendirikan sholat." (Shohih Bukhori, no.723)

Dalam riwayat lain :

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ، مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

"Luruskan barisan-barisan kalian, karena sesungguhnya meluruskan barisan adalah bagian dari kesempurnaan sholat." (Shohih Muslim, no.433)

Sahabat Anas rodhiyallohu 'anhu meriwayatkan :

أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

"Ketika sholat akan dilaksanakan, Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam menghadap kepda kami dengan wajahnya, lalu beliau berkata : "Tegakkanlah barisan-barisan kalian dan saling menempel, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku." (Shohih Bukhori, no.719)

Dalam riwayat lain terdapat tambahan :

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

"Dan salah seorang dari kami (para sahabat) menempelkan pundaknya dengan pundak temannya (orang yang ada disampingnya) dan (menempelkan) telapak kakinya dengan telapak kaki(teman)nya." (Shohih Bukhori, no.725)

Sebagian ulama', seperti syekh Ibnu Hajar Al Asqolani dan beberapa ulama' ahli hadits lainnya, menyatakan bahwa meluruskan barisan ketika sholat jama'ah hukumnya wajib berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam :

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

"Luruskanlah barisan-barisan kalian atau Alloh akan memalingkan wajah-wajah kalian." (Shohih Bukhori, no.717 dan Shohih Muslim, no.436)

Dari hadits diatas dipahami bahwa suatu ancaman yang ditujukan pada suatu tindakan yang menyalahi perintah menunjukkan bahwa perkara yang diperintahkan adalah perkara wajib, dari situ disimpulkan bahwa hukum meluruskan shof adalah wajib dan menyalahi aturan tersebut hukumnya harom.

Namun Syekh Ibnu Hajar menambahkan bahwa meskipun meluruskan barisan dihukumi wajib, sholat jama'ahnya tetap sah apabila barisanya tidak lurus, ketentuan ini dikuatkan dengan apa yang dilakukan oleh sahabat Anas, meskipun beliau mengingkari orang-orang yang tidak meluruskan barisan, beliau tidak menyuruh untuk mengulangi sholat mereka.

Kesimpulannya, mayoritas ulama' menyatakan bahwa meluruskan barisan hukumnya sunat dan sebagian ulama' menyatakan hukumnya wajib. Baik mengikuti pendapat yang menyatakan hukumnya wajib maupun sunat, sholat jama'ahnya tetap sah. Wallohu a'lam.

( Dijawab oleh : Farid Muzakki, Kudung Khantil Harsandi Muhammad dan Siroj Munir )


Referensi :
1.Al Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 188-189
2. Al Majmu', Juz : 4  Hal : 292
3. Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 27  Hal : 35-36


Ibarot :
Al Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 188-189

باب موقف الإمام والمأموم
السنة أن يقف الرجل الواحد عن يمين الإمام لما روى ابن عباس رضي الله عنه قال: بت عند خالتي ميمونة فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فقمت عن يساره فجعلني عن يمينه فإن وقف على يساره رجع إلى يمينه فإن لم يحسن علمه الإمام كما فعل النبي صلى الله عليه وسلم بابن عباس رضي الله عنه
فإن جاء آخر أحرم عن يساره ثم يتقدم الإمام أو يتأخر المأموم لما روى جابر رضي الله عنه قال: قمت عن يسار رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذ بيدي وأدارني حتى أقامني عن يمينه وجاء جابر بن صخر حتى قام عن يسار رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخذنا بيديه جميعا فدفعنا حتى أقامنا خلفه لأنه قبل أن يحرم الثاني لم يتغير موقف الأول فلا يزال عن موضعه
فإن حضر رجلان اصطفا خلفه لحديث جابر وإن حضر رجل وصبي اصطفا خلفه لما روى أنس رضي الله عنه قال: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم وصففت أنا واليتيم وراءه والعجوز من ورائنا فصلى بنا ركعتين فإن حضر رجال وصبيان تقدم الرجال لقوله صلى الله عليه وسلم "ليليني منكم أولو الأحلام والنهي ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
وإن كانت معهم امرأة وقفت خلفهم لحديث أنس رضي الله عنه فإن كان معهم خنثى وقف خلف الرجل والمرأة خلف الخنثى لأنه يجوز أن يكون امرأة فلا تقف مع الرجال

Al Majmu', Juz : 4  Hal : 292-293

أما أحكام الفصل ففيه مسائل
إحداها : السنة أن يقف المأموم الواحد عن يمين الإمام رجلا كان أو صبيا قال أصحابنا ويستحب أن يتأخر عن مساواة الإمام قليلا فإن خالف ووقف عن يساره أو خلفه استحب له أن يتحول إلى يمينه ويحترز عن أفعال تبطل الصلاة فإن لم يتحول استحب للإمام أن يحوله لحديث ابن عباس فإن استمر على اليسار أو خلفه كره وصحت صلاته عندنا بالاتفاق
الثانية : إذا حضر إمام ومأمومان تقدم الإمام واصطفا خلفه سواء كانا رجلين أو صبيين أو رجلا وصبيا: هذا مذهبنا ومذهب العلماء كافة إلا عبد الله بن مسعود وصاحبيه علقمة والأسود فإنهم قالوا يكون الإمام المأمومان كلهم صفا واحدا ثبت هذا عن ابن مسعود في صحيح مسلم دليلنا حديث جابر السابق قال أصحابنا فإن حضر إمام ومأموم وأحرم عن يمينه ثم جاء آخر أحرم عن يساره ثم إن كان قدام الإمام سعة وليس وراء المأمومين سعة تقدم الإمام وإن كان وراءهما سعة وليست قدامه تأخرا وإن كان قدامه سعة ووراءهما سعة تقدم أو تأخرا وأيهما أفضل فيه وجهان (الصحيح) الذي قطع به الشيخ أبو حامد والأكثرون تأخرهما لأن الإمام متبوع فلا ينتقل (والثاني) تقدمه قاله القفال والقاضي أبو الطيب لأنه يبصر ما بين يديه ولأنه فعل شخص فهو أخف من شخصين هذا إذا جاء المأموم الثاني في القيام فإن جاء في التشهد والسجود فلا تقدم ولا تأخر حتى يقوموا ولا خلاف أن التقدم والتأخر لا يكون إلا بعد إحرام المأموم الثاني كما ذكرنا وقد نبه عليه المصنف بقوله ثم يتقدم الإمام أو يتاخرا –إلى أن قال
الثالثة : إذا حضر كثيرون من الرجال والصبيان يقدم الرجال ثم الصبيان هذا هو المذهب وبه قطع الجمهور وفيه وجه حكاه الشيخ أبو حامد والبندنيجي والقاضي أبو الطيب وصاحبا المستظهري والبيان وغيرهم أنه يستحب أن يقف بين كل رجلين صبي ليتعلموا منهم أفعال الصلاة والصحيح الأول لقوله صلى الله عليه وسلم ليلني منكم اولوا الأحلام والنهى ثم الذين يلونهم " وأما تعلم الصلاة فيمكن وإن كانوا خلفهم
وإن حضر رجال وصبيان وخناثى ونساء تقدم الرجال ثم الصبيان ثم الخناثى ثم النساء لما ذكره المصنف فإن حضر رجال وخنثى وامرأة وقف الخنثى خلف الرجال وحده والمرأة خلفه وحدها فإن كان معهم صبي دخل في صف الرجال وإن حضر إمام وصبي وامرأة وخنثى وقف الصبي عن يمينه والخنثى خلفهما والمرأة خلفه

Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Juz : 27  Hal : 35-36

تسوية الصف في صلاة الجماعة
ذهب الجمهور إلى أنه يستحب تسوية الصفوف في صلاة الجماعة بحيث لا يتقدم بعض المصلين على البعض الآخر، ويعتدل القائمون في الصف على سمت واحد مع التراص، وهو تلاصق المنكب بالمنكب، والقدم بالقدم، والكعب بالكعب حتى لا يكون في الصف خلل ولا فرجة، ويستحب للإمام أن يأمر بذلك لقوله صلى الله عليه وسلم: سووا صفوفكم فإن تسوية الصف من تمام الصلاة وفي رواية: فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة وفي رواية: وأقيموا الصف فإن إقامة الصف من حسن الصلاة ولما رواه أنس رضي الله عنه قال: أقيمت الصلاة فأقبل علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم بوجهه فقال: أقيموا صفوفكم، وتراصوا فإني أراكم من وراء ظهري وفي رواية: وكان أحدنا يلزق منكبه بمنكب صاحبه وقدمه بقدمه
وذهب بعض العلماء - منهم ابن حجر وبعض المحدثين - إلى وجوب تسوية الصفوف لقوله صلى الله عليه وسلم: لتسون صفوفكم أو ليخالفن الله بين وجوهكم  فإن ورود هذا الوعيد دليل على وجوب التسوية، والتفريط فيها حرام؛ ولأمره صلى الله عليه وسلم بذلك وأمره للوجوب ما لم يصرفه صارف، ولا صارف هنا.
قال ابن حجر العسقلاني: ومع القول بأن تسوية الصف واجبة فصلاة من خالف ولم يسو صحيحة، ويؤيد ذلك: أن أنسا مع إنكاره عليهم لم يأمرهم بإعادة الصلاة
ومن تسوية الصفوف إكمال الصف الأول فالأول، وأن لا يشرع في إنشاء الصف الثاني إلا بعد كمال الأول، وهكذا. وهذا موضع اتفاق الفقهاء لقوله صلى الله عليه وسلم: أتموا الصف المقدم ثم الذي يليه، فما كان من نقص فليكن في الصف المؤخر وقوله صلى الله عليه وسلم: من وصل صفا وصله الله ومن قطع صفا قطعه الله. وعليه فلا يقف في صف وأمامه صف آخر ناقص أو فيه فرجة، بل يشق الصفوف لسد الخلل أو الفرجة الموجودة في الصفوف التي أمامه؛ للأحاديث السابقة
http://fiqhkontemporer99.blogspot.com